Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menganggap bahwa kewajiban pelaporan itu membantu pengawasan pihaknya terhadap aliran dana kampanye di masa kampanye.
Apalagi, kewajiban ini sudah berjalan sejak Pemilu 2014, termasuk pada pemilihan kepala daerah (pilkda) setelahnya. Kemudian, tidak menimbulkan keluhan dari peserta pemilu, khususnya dari partai politik (parpol).
"Saya kira parpol punya kemampuan untuk hal itu. Seharusnya bisa, tidak membebani partai, kok," ujar Bagja pada 23 Juni 2023.
Baca juga: KPU: Sumbangan Dana Kampanye Tetap Wajib Dilaporkan
Menurut Bagja, Bawaslu hanya bisa membandingkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan-Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), sebagai dua laporan tersisa yang diwajibkan KPU, untuk melacak aliran dana kampanye.
Namun, penggunaan dua jenis laporan ini pun dianggap tak membantu kerja Bawaslu. Sebab, rencananya, LPPDK disampaikan setelah masa kampanye berakhir pada Februari 2024.
"Artinya (di masa kampanye) kami enggak punya LPPDK-nya. (Jika diserahkan pada Februari), tentu itu tidak relevan lagi (sebagai instrumen pengawasan)," kata Bagja.
Sebelumnya, Bawaslu RI juga telah menerima audiensi koalisi sipil yang mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas yang mengeklaim terdiri dari 146 lembaga nonprofit, termasuk di antaranya ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Transparency International Indonesia (TII).
Mereka meminta Bawaslu harus segera menerbitkan rekomendasi kepada KPU RI untuk tidak menghapus LPSDK.
Baca juga: Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye
Di sisi lain, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) khawatir dihapusnya LPSDK membuat peserta pemilu semakin leluasa melanggar ketentuan dana kampanye.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menyampaikan bahwa dihapusnya LPSDK yang dulunya dilaporkan di tengah masa kampanye bakal membuat masa kampanye Pemilu 2024 tak ubahnya ruang gelap.
"Pasti (penghapusan ini membuka celah masuknya dana gelap kepada peserta pemilu), karena tidak ada lagi ruang untuk mengawasi penerima atau pemberi sumbangan dana pemilu," kata Fadli pada 13 Juni 2023.
Bukan hanya dianggap membuka ruang masuknya dana-dana ilegal, dihapusnya LPSDK juga dianggap membuat Bawaslu tak mempunyai pijakan untuk menindak pelanggaran ketentuan dana kampanye seperti batas maksimal dana sumbangan dan larangan menerima sumbangan dari pihak asing.
Baca juga: KPU Diminta Buka Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Sebelum Hari Pencoblosan
Dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menganggap kebijakan ini bermasalah sebab tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya. Padahal, ongkos politik di Indonesia cukup tinggi.
"Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya tapi tidak jelas pemasukannya dari mana mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar. LPSDK ini praktik baik yang mestinya menjadi komitmen semua pihak untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi," ujar Titi kepada Kompas.com pada 31 Mei 2023.
Aspek transparansi ini krusial karena calon anggota legislatif (caleg) juga tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum mencalonkan diri.
"Durasi kampanye memang pendek hanya 75 hari, tapi justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal mempengaruhi pemilih. Di situ lah krusial dan strategisnya LPSDK," kata Titi.
Baca juga: Legalitas Dana Kampanye Kian Dipertanyakan Usai KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Kampanye
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.