Namun alih-alih bicara kualitas, kita masih berdebat dan saling menyalahkan soal zonasi. Menteri Pendidikannya justru menyembunyikan wajahnya dari publik atas kebijakan yang meresahkan orangtua murid.
Padahal, tantangan utama bonus demografi juga jatuh kepada Kementerian Pendidikan dan segala perangkat pendidikan di bawah lingkup kerjanya.
Anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen APBN harus benar-benar dimanfaatkan secara optimal untuk menyiapkan generasi muda kita berhadapan dengan perkembangan zaman.
Selain Kementerian Pendidikan, di pundak Kementerian Kesehatan juga terletak beban yang besar soal bonus demografi, terutama terkait stunting.
Dari data Kementerian Kesehatan yang termaktup di Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022.
Meski turun, angkanya masih sangat tinggi. Artinya, 21 persen calon generasi muda kita mengalami masa kecil yang kurang gizi.
Padahal kesehatan masa kanak-kanak adalah faktor penting dalam pembentukan generasi muda nanti. Kesehatan anak akan menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas adaptasi pendidikan yang akan mereka lakukan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa gizi buruk adalah salah satu sebab anak-anak kita gagal berprestasi alias gagal menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam proses belajar.
Sebenarnya, dari sisi lain, peningkatan jumlah penduduk usia kerja sangat menguntungkan secara ekonomi, karena beban ketergantungan akan berada pada titik terendah. Artinya, setiap penduduk produktif hanya akan menanggung sedikit penduduk yang tidak produktif.
Secara ekonomi, negara atau wilayah yang mengalami bonus demografi, akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya secara maksimal, selama bonus tersebut mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Itulah yang pernah dialami Korea Selatan, misalnya.
Korea Selatan ketika menerima bonus demografi kisaran tahun 1981-1995, pertumbuhan ekonominya mencapai 8,5 persen. Bahkan ratio GDP mencapai 40 persen pada 1991, begitu pula dengan rasio tabungan mencapai 40 persen pada 1988.
China pun sama. Tiga dekade setelah era keterbukaan ekonomi China dimulai, pertumbuhan ekonominya melesat sangat tinggi. Karena itulah China mampu mengangkat ratusan juta penduduknya keluar dari garis kemiskinan.
Dan saya kira, sebagaimana juga pendapat pakar-pakar di bidang ini, memanfaatkan peluang bonus demografi adalah dengan meningkatkan kualitas penduduk agar mampu berperan dalam pasar kerja, membuka peluang pekerjaan seluas-luasnya sehingga sebagian besar angkatan kerja tersebut dapat terserap dalam pasar kerja.
Dengan kata lain, kata kunci pertamanya adalah daya saing sumber daya manusia. Dan kata kunci keduanya adalah iklim investasi.
Perpaduan ketersediaan SDM yang berketerampilan baik dengan pertumbuhan investasi yang tinggi adalah jawaban paling dibutuhkan untuk mengatasi efek negatif bonus demografi.
Selain itu, secara makro, pertumbuhan ekonomi adalah jawaban lain. Jika melihat angka raihan lima persen, tentu sangat kurang kompatibel dengan pertumbuhan angkatan kerja kita setiap tahun yang tercatat sekitar 3 jutaan.
Katakanlah ILOR (Incremental Labour Output Ratio) kita 200.000 tenaga kerja terserap per satu persen pertumbuhan, maka lapangan kerja yang terbentuk dari angka pertumbuhan 5 persen adalah sekitar 1 juta.
Dengan kata lain, disparitas pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan angkatan kerja sangat besar. Sehingga ancaman ledakan pengangguran akan sangat tinggi saat momen bonus demografi datang.