INDONESIA saat ini sedang menikmati bonus demografi yang akan mencapai puncaknya periode 2030-2045.
Bonus demografi merupakan suatu kondisi di mana jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun/usia produktif) mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen penduduk lainnya dikategorikan tidak produktif atau berusia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun.
Jadi angkatan kerja produktif menanggung beban ekonomi jauh di bawah batas kapasitas produktifnya. Karena itulah sangat bagus untuk perekonomian nasional kita.
Jika mayoritas angkatan kerja mendapat pekerjaan layak, maka otomatis angka kemiskinan akan tertekan hingga ke titik terendahnya dan di sisi lain angka pertumbuhan ekonomi akan mengalami titik tertingginya.
Di Indonesia saat ini, penduduk usia produktif, yakni berusia 15-64 tahun, akan mencapai sekira 180 juta atau 68 persen dari total penduduk.
Pada 2030-2045, penduduk usia produktif kita diperkirakan mencapai 70 persen. Di saat itulah puncak bonus demografi di negeri ini.
Namun kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Penduduk miskin masih berkisar 9 persenan dari jumlah total penduduk dan angka pengangguran terbuka masih mencapai 6 persenan dari total angkatan kerja.
Celakanya lagi, sekitar 50 persen lebih penduduk yang bekerja justru berada di sektor informal. Pun mayoritas tenaga kerja berpendidikan maksimal Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Tak sampai di situ, risiko lainnya adalah saat pencari kerja meningkat, Indonesia diterjang oleh "era disruption technology." Perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktifitas yang tidak dikelola dengan baik justru akan menekan kesempatan kerja bagi banyak angkatan kerja yang ada.
Jika Indonesia kurang mampu beradaptasi dengan teknologi digital, sementara banyak perusahaan berhadapan dengan tekanan digital untuk meningkatkan produktifitas sekaligus melakukan perampingan penggunaan tenaga kerja atas nama efisiensi.
Oleh karena itu, persoalan Indonesia saat ini tidak saja tentang bagaimana mempersiapkan generasi muda berkualitas, melainkan juga menyiapkan iklim usaha produktif untuk lahirnya perusahaan-perusahaan penyedia lapangan kerja sebanyak-banyaknya alias investasi baru.
Kemajuan ekonomi Indonesia bisa diraih lewat pembangunan sektor riil, pelayanan dan finansial, serta sektor digital.
Industri mau tak mau harus terus didorong untuk bertumbuh. Karena dengan cara itu, pertumbuhan tenaga kerja terampil dan produktif bisa diakomodasi secara seimbang.
Selain itu, dunia pendidikan harus bisa pula mempersiapkan lulusan yang mudah untuk dilatih menjadi tenaga kerja terampil. Dunia pendidikan harus menyiapkan generasi muda yang berketerampilan baik, sekaligus memiliki kreatifitas mumpuni.
Generasi muda berkualitas adalah generasi yang memiliki integritas baik, memiliki karakter sebagai bangsa Indonesia, dan memiliki kompetensi di bidangnya.
Generasi muda berkualitas adalah mereka yang mudah beradaptasi dengan perubahan dan mampu memanfaatkan kemajuan teknologi digital sebagai instrumen untuk tumbuh dan berkembang.
Generasi ini sejatinya memiliki kecerdasan komprehensif, yakni kecerdasan untuk bekerja secara produktif, inovatif, dan mampu berinteraksi sosial dengan baik, serta tak lupa juga berperadaban unggul.
Persoalannya, dari sisi kompetensi, pendidikan formal di Indonesia masih jauh dari level ideal untuk menghasilkan lulusan yang mampu bersaing.
Namun alih-alih bicara kualitas, kita masih berdebat dan saling menyalahkan soal zonasi. Menteri Pendidikannya justru menyembunyikan wajahnya dari publik atas kebijakan yang meresahkan orangtua murid.
Padahal, tantangan utama bonus demografi juga jatuh kepada Kementerian Pendidikan dan segala perangkat pendidikan di bawah lingkup kerjanya.
Anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen APBN harus benar-benar dimanfaatkan secara optimal untuk menyiapkan generasi muda kita berhadapan dengan perkembangan zaman.
Selain Kementerian Pendidikan, di pundak Kementerian Kesehatan juga terletak beban yang besar soal bonus demografi, terutama terkait stunting.
Dari data Kementerian Kesehatan yang termaktup di Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022.
Meski turun, angkanya masih sangat tinggi. Artinya, 21 persen calon generasi muda kita mengalami masa kecil yang kurang gizi.
Padahal kesehatan masa kanak-kanak adalah faktor penting dalam pembentukan generasi muda nanti. Kesehatan anak akan menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas adaptasi pendidikan yang akan mereka lakukan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa gizi buruk adalah salah satu sebab anak-anak kita gagal berprestasi alias gagal menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam proses belajar.
Sebenarnya, dari sisi lain, peningkatan jumlah penduduk usia kerja sangat menguntungkan secara ekonomi, karena beban ketergantungan akan berada pada titik terendah. Artinya, setiap penduduk produktif hanya akan menanggung sedikit penduduk yang tidak produktif.
Secara ekonomi, negara atau wilayah yang mengalami bonus demografi, akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya secara maksimal, selama bonus tersebut mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Itulah yang pernah dialami Korea Selatan, misalnya.
Korea Selatan ketika menerima bonus demografi kisaran tahun 1981-1995, pertumbuhan ekonominya mencapai 8,5 persen. Bahkan ratio GDP mencapai 40 persen pada 1991, begitu pula dengan rasio tabungan mencapai 40 persen pada 1988.
China pun sama. Tiga dekade setelah era keterbukaan ekonomi China dimulai, pertumbuhan ekonominya melesat sangat tinggi. Karena itulah China mampu mengangkat ratusan juta penduduknya keluar dari garis kemiskinan.
Dan saya kira, sebagaimana juga pendapat pakar-pakar di bidang ini, memanfaatkan peluang bonus demografi adalah dengan meningkatkan kualitas penduduk agar mampu berperan dalam pasar kerja, membuka peluang pekerjaan seluas-luasnya sehingga sebagian besar angkatan kerja tersebut dapat terserap dalam pasar kerja.
Dengan kata lain, kata kunci pertamanya adalah daya saing sumber daya manusia. Dan kata kunci keduanya adalah iklim investasi.
Perpaduan ketersediaan SDM yang berketerampilan baik dengan pertumbuhan investasi yang tinggi adalah jawaban paling dibutuhkan untuk mengatasi efek negatif bonus demografi.
Selain itu, secara makro, pertumbuhan ekonomi adalah jawaban lain. Jika melihat angka raihan lima persen, tentu sangat kurang kompatibel dengan pertumbuhan angkatan kerja kita setiap tahun yang tercatat sekitar 3 jutaan.
Katakanlah ILOR (Incremental Labour Output Ratio) kita 200.000 tenaga kerja terserap per satu persen pertumbuhan, maka lapangan kerja yang terbentuk dari angka pertumbuhan 5 persen adalah sekitar 1 juta.
Dengan kata lain, disparitas pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan angkatan kerja sangat besar. Sehingga ancaman ledakan pengangguran akan sangat tinggi saat momen bonus demografi datang.
Karena rendahnya angka ILOR itu pula akhirnya lebih dari setengah angkatan kerja kita masuk ke sektor informal.
Nah, sebagaimana sering juga diingatkan oleh Presiden Jokowi soal bonus demografi, termasuk dalam pidatonya pada 16 Agustus 2023 di Senayan, Jakarta, tantangan ke depan memang tidak mudah.
Harus ada upaya-upaya kongkret untuk mempersiapkan bangsa ini berhadapan dengan ledakan tenaga kerja produktif, terutama dengan mamasifkan upaya dalam mendatangkan investasi.
Lalu pada 17 Agustus, tepat pada hari kemerdekaan Indonesia hari ini, pemerintah juga perlu mengedepankan pesan bahwa langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut juga harus dalam koridor nasionalisme yang tepat.
Indonesia membutuhkan investasi, baik domestik maupun asing, agar lapangan pekerjaan semakin banyak tersedia.
Namun ada batasan yang perlu dijaga, yakni batasan yang akan menunjukkan bahwa segala upaya tersebut pada akhirnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah harus memilki posisi tawar kuat atas segala investasi yang masuk. Jangan sampai malah sebaliknya di mana pemerintah justru dikendalikan oleh para investor atau jejaring investor yang berwajah oligarkis, dengan alasan bahwa investasi mereka akan ikut menjawab masalah bonus demografi.
Dengan begitu, pemerintah kemudian dengan mudah diarahkan untuk menelurkan aturan-aturan dan insentif-insentif fiskal yang justru sangat menguntungkan para pelaku investasi secara berlebih.
Padahal, yang terjadi justru tidak seirama dengan kepentingan nasional, di mana sumber daya alam (SDA) dan pasar domestik kita dikuras sedemikian rupa. Padahal lapangan pekerjaan yang disediakan dan kerusakan lingkungan yang disebabkannya tak sebanding dengan kerugian yang dialami Indonesia.
Pemerintah harus belajar dan introspeksi secara mendalam dari kegagalan Tesla merapat ke Indonesia, bukan malah sibuk membela diri.
Faktor lingkungan sangat penting dan Tesla sudah berada pada "reasoning" yang benar saat menolak berinvestasi di Indonesia.
Kerusakan lingkungan justru mengancam masa depan generasi muda dan generasi mendatang Indonesia.
Menukar investasi atas nama pembukaan lapangan pekerjaan dengan kerusakan lingkungan bukanlah "trade off" yang sepadan, karena imbas jangka panjangnya justru merusak masa depan anak muda, terutama di lokasi industri berada.
Inilah semangat nasional demografis nasionalis yang harus dikedepankan oleh pemerintah pada perayaan kemerdekaan kali ini.
Generasi muda kita harus dibuat berdaya saing, lapangan pekerjaan perlu terus didorong untuk tersedia secara masif, tapi masa depan generasi mendatang, harga diri bangsa, dan kepentingan nasional juga harus dijaga.
Jangan mentang-mentang atas nama bonus demografi, semuanya kita obral bak kacang goreng, tanpa memikirkan harga diri bangsa dan kepentingan nasional kita. Semoga bisa demikianlah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.