ELIADI Hulu dan Saiful Salim, warga Nias dan Yogyakarta, menggugat masa jabatan ketua umum (ketum) partai politik (parpol) yang diatur dalam Pasal 23 ayat 1 UU Parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka memohon agar MK menafsirkan ketentuan masa jabatan ketum parpol menjadi lima tahun dengan maksimal sebanyak dua periode.
Pada permohonan lain, Muhammad Helmi Fahrizi, Ramose Petege, dan Leonardus O Magai mengajukan permohonan serupa.
Kedua gugatan itu berangkat dari status quo pengaturan masa jabatan ketua umum parpol yang tidak dibatasi undang-undang (UU). Batas masa jabatan mereka diserahkan agar diatur dalam anggaran dasar (AD)/anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Jabatan Ketum Parpol, Mantan Ketua DPD RI: Keputusan Tepat
Saat ini, dengan pengaturan yang demikian, hanya masa jabatan ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja yang jelas dibatasi secara periodik (maksimal dua periode). Partai yang lainnya tidak menerapkan konsep yang demikian yang berdampak kepada dinasti politik dan tidak demokratisnya kehidupan berparpol.
Persoalan lain adalah politisi dari partai-partai yang sudah ada justru gaduh dengan adanya gugatan itu . Penulis menampilkan tiga yang menolak, yaitu Habiburokhman (Gerindra) yang menyatakan gugatan tersebut aneh. Ia malah menyarankan penggugat agar membuat partai sendiri.
Selain itu ada Masinton Pasaribu (dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P) yang menyatakan penolakannya serta menganggap (apabila dikabulkan) ke depannya apa-apa akan diatur oleh negara. Orang ketiga yaitu Herman Khaeron (Demokrat) yang menyatakan pembatasan tidak relevan dengan kondisi internal partai.
Jamaludin Ghafur (2023) dalam penelitiannya menyatakan, terdapat problem suksesi kepemimpinan parpol pada ranah implementasi. Mayoritas parpol di Indonesia tidak melaksanakan pergantian ketua/pimpinannya secara demokratis.
Sebabnya adalah lemahnya sejumlah hal, di antaranya inklusivitas pencalonan, partisipasi pemilih, derajat kompetisi, mekanisme pemilihan, dan pembatasan masa jabatan. Hal itu menjadi semakin prihatin ketika upaya demokratisasi parpol yang berlandaskan potensi kerugian hak konstitusional justru ditolak para politisi.
Baca juga: MK Tak Terima Gugatan soal Masa Jabatan Ketum Parpol, Sebut Pemohon Tak Serius
Sepatutnya, sebagai unsur pokok demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai konsepsi fundamental, politisi mesti mendukung kepentingan luas masyarakat tersebut daripada mengedepankan urusan orang dalam (pimpinan) partai yang coba diganggu masa jabatannya.
Ibaratnya, pengujian di MK adalah jalan pintas menuju demokratisasi parpol. Dampaknya, para orang dalam partai yang bukan pimpinan dapat semakin berpeluang untuk memimpin serta membawa perubahan.
Partai-partai serta politisi sepantasnya memandang ini sebagai kesempatan emas bagi mereka daripada menanti revisi undang-undang parpol yang sulit ditempuh akibat hegemoni kepentingan fraksi partai. Sepatutnya, perlu mencontoh sikap berani dua partai politik nasional yang terang-terangan mendukung adanya upaya pembatasan masa jabatan tersebut.
Masih soal demokratisasi parpol, demokrasi internal partai politik merupakan prasyarat yang harus dilakukan untuk mewujudkan demokrasi negara (Alan Ware, 1979). Itulah alasanya dalam hal mencegah matinya demokrasi, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) menaruh harapan yang besar kepada partai politik.
Tentu kita harus bercermin pada kondisi ini. Barangkali indeks demokrasi di Indonesia yang selalu rendah disebabkan oleh kondisi kepartaian yang tidak demokratis, serta budaya para politisinya yang feodal. Hal ini semakin terbukti melalui penolakan atas adanya gugatan ini.
Lebih parah lagi, demokrasi juga bisa mati disebabkan karena parpol yang tidak menjunjung tinggi kepentingan demokrasi, sesederhana menolak pembatasan masa jabatan ketua umumnya dengan berbagai alasan.
Alasan beberapa politisi menolak gugatan tersebut adalah ranah partai politik yang merupakan organisasi yang tidak boleh diintervensi secara berlebihan oleh negara.
Penulis tidak sependapat dengan argumen itu. Partai politik adalah organ konstitusi dengan kewenangan yang besar, justru menjadi berbahaya apabila tidak diatur (dibatasi) secara proporsional.
Lord Acton mengatakan, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Kekuasaan cenderung diselewengkan, kekuasaan yang mutlak (kewenangan besar dalam konteks ini) sudah pasti diselewengkan.
Kalkulasi sederhana yang menggambarkan seberapa “besar” dan “penting”-nya parpol adalah dengan keberadaannya pada batang tubuh UUD 1945. Frasa “partai politik” disebutkan sebanyak enam kali. Masing-masing secara terpisah pada empat pasal yang berkaitan dengan tiga cabang kekuasaan.
Berkaitan dengan Presiden (eksekutif), parpol merupakan organ yang mencalonkan, berkaitan dengan DPR/DPRD (legislatif) parpol merupakan peserta pemilu legislatif, berkaitan dengan MK (yudikatif), urusan pembubaran parpol merupakan salah satu kewenangannya.
Lebih lanjut, penyebutan frasa “partai politik” justru lebih banyak dari dua lembaga tinggi negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya disebutkan sebanyak empat kali. Lebih sedikit, Komisi Yudisial (KY) hanya disebutkan sebanyak dua kali.
Kalkulasi tersebut menggambarkan bagaimana framers of constitution lebih menaruh pandangannya kepada partai politik daripada beberapa organ lain yang jelas merupakan lembaga tinggi negara.
Muhammad Novrizal (2021) secara tegas menyebut, parpol adalah lembaga negara. Argumentasinya, pertama merujuk ke pendapat Hans Kelsen bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ (lembaga negara).
Kedua, pembentukan parpol merupakan amanat UU dan konstitusi sebagai subyek yang ditetapkan menjadi peserta pemilu. Ketiga, pendapat Hans Kelsen bahwa jabatan yang ditentukan oleh hukum disebut organ negara ketika fungsi-fungsinya bersifat menciptakan norma atau bersifat menjalankan norma. Parpol melakukan keduanya.
Terlepas dari perdebatan akademik parpol merupakan lembaga negara (institusi publik) atau sekedar institusi privat, penulis menyepakati parpol sebagai organ konstitusi. Dampaknya, parpol (termasuk strukturnya) wajib diatur sebagaimana organ konstitusi lain dengan ide dasar konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) terhadapnya.
Saat ini, tidak ada satupun organ konstitusi yang pimpinannya dibiarkan untuk dapat dipilih dengan potensi pemilihan yang tidak demokratis.Tidak ada juga organ konstitusi yang prosedur pemilihan ketua umumnya diserahkan secara bebas dalam peraturan internalnya.
Terlepas pula dari dualisme perdebatan akademik sebagai institusi publik maupun privat, partai politik mengemban dua kepentingan tersebut. Kepentingan publik adalah untuk melakukan demokratisasi yang lebih luas. Sementara kepentingan privat (internal) adalah demokratisasi internal yang merupakan hal paling pokok untuk menuju tercapainya demokratisasi publik yang luas.
Pembatasan masa jabatan parpol melalui undang-undang, yang kini sedang digugat di MK, adalah hal yang harus diperjuangkan oleh politisi daripada ditolak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.