JAKARTA, KOMPAS.com - Rentetan pelanggaran di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai menjadi wujud pengaruh budaya buruk birokrasi yang pragmatis dan berupaya saling menutupi kesalahan.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berbagai pelanggaran yang terjadi di internal lembaga antirasuah itu saat ini adalah cerminan dari sikap para pimpinannya yang lebih banyak berasal dari kalangan birokrat.
"Seperti bekas polisi, hakim, ASN (aparatur sipil negara). Ya begitulah jadinya jika sebuah lembaga juga dipimpin dari bekas ASN juga yang birokrasinya pragmatis. Mempersulit dan mencari keuntungan," kata Fickar saat dihubungi pada Rabu (28/6/2023).
Terdapat 4 pimpinan KPK yang sebelumnya berkarier di bidang penegak hukum. Firli Bahuri (Polri), Alexander Marwata dan Nawawi Pomolango (hakim), dan Johanis Tanak (Kejaksaan).
Baca juga: Pegawai KPK Diduga Tilap Uang Rp 550 Juta, IM57+: Harus Dipecat dan Dipidanakan!
Sedangkan Nurul Ghufron berlatar akademisi dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember dengan status pegawai negeri sipil golongan IV-A.
Menurut Fickar, berbagai pelanggaran yang dilakukan pegawai KPK terkait dengan budaya kerja para birokrat itu yang dibawa ke dalam lembaga antirasuah itu.
"Sehingga menjadi kurang tegas penindakan ke dalam. Apalagi pasca KPK menjadi bagian dari birokrasi eksekutif," ucap Fickar.
Fickar mengatakan, salah satu bukti kultur birokrat pragmatis di KPK saat ini adalah ketika pimpinan tertingginya juga terjerat kasus pelanggaran.
"Penyelesaiannya juga model-model aparatur sipil negara (ASN). Apalagi KPK sendiri sudah tegas dinyatakan sebagai bagian dari eksekutif, karena itu budaya kerjanya hampir tidak berbeda. Ditambah isinya pun ASN yang dipindahkan atau ditarik dari institusi ASN lainnya, ya sudah sempurna lah," papar Fickar.
Baca juga: KPK Akan Serahkan Kasus Pidana Pelecehan Seksual Petugas Rutan ke Penegak Hukum Lain
Sebelumnya diberitakan, KPK membebastugaskan puluhan pegawai yang terlibat dugaan suap atau pemerasan terhadap tahanan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, kasus suap atau pemerasan di Rutan KPK merupakan kolusi.
Para tersangka korupsi yang ditahan menginginkan keleluasaan yang lebih melalui suap.
Ia mencontohkan, mereka perlu berkomunikasi dengan pihak keluarga lebih leluasa atau makanan yang diinginkan.
“Itu yang kemudian mereka manfaatkan. Jadi kolusi sebenarnya,” ujar dia.
Baca juga: KPK Sebut 15 Pegawai Sudah Jalani Pemeriksaan Disiplin Buntut Pungli di Rutan
Kasus pungli di rutan KPK terungkap saat lembaga itu memproses laporan dugaan pelanggaran etik.