MAHKAMAH konstitusi (MK) telah selesai melakukan pemeriksaan uji materiIl mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perkara yang diregister dengan No. 114/PUU-XX/2022 ini tengah ditunggu publik dan akan segera diputuskan pada Kamis, 15 Juni 2023.
Partai-partai politik di Senayan terbelah sikapnya. PDI Perjuangan mendukung dikembalikannya sistem proporsional tertutup. Sikap ini diikuti oleh Partai bulan Bintang (PBB) yang diketuai Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahandera.
Sementara delapan partai politik menolak, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat (Demokrat), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN).
Belakangan, bahkan “mengancam” akan mengubah Undang-Undang terkait Mahkamah Konstitusi (MK) jika hakim MK memutuskan mengubah sistem Pemilu yang sekarang berlaku.
Menunggu MK memutuskan sistem pemilu, sebanyak 25 akademisi juga tidak mau ketinggalan. Mereka mengajukan sahabat pengadilan (amicus curiae) ke MK.
Dalam amicus curiae-nya, mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research & Consulting pada Mei 2023, menyebutkan jika lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia menyatakan setuju dengan sistem proporsional terbuka.
Partai politik yang prosistem proporsional terbuka berargumentasi sistem ini menyediakan ruang bagi rakyat untuk menentukan calon legislatif yang terpilih, yang sebelumnya telah dicalonkan oleh partai politik. Sistem ini dinilai sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Sedangkan bagi partai politik yang setuju sistem proporsional tertutup berdalih sistem proporsional terbuka berdampak negatif adanya pembajakan oleh calon pragmatis yang karena popularitas dan kemampuan finansial berhasil terpilih dalam pemilu.
Sistem ini berakibat merugikan partai karena pudarnya ikatan ideologis antara calon terpilih dengan partai politik yang telah mencalonkannya.
Partai-partai politik yang hendak mempertahankan sistem proporsional terbuka juga membawa alasan penguat adanya Putusan MK.
Menurut mereka, sistem proporsional terbuka sesuai dengan Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008.
Pertanyaannya, apakah benar Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu yang sesuai untuk diterapkan dalam pemilu kita?
Apakah sebaliknya, sistem proporsional tertutup dinilai MK sebagai sistem pemilu yang tidak sesuai untuk digunakan?
Bagaimana sebenarnya isi atau makna dari Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 tersebut?
Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 merupakan putusan atas perkara pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
UU No. 10 Tahun 2008 diubah dengan UU No. 17 Tahun 2009. Kemudian, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Selanjutnya, UU No. 8 Tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2022.
Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kalau membaca putusan a quo, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, pertama, memberikan penekanan agar ada keseimbangan antara peran partai politik di satu sisi dan penghargaan pada prinsip kedaulatan rakyat di sisi lain dalam hal penentuan pimpinan politik in casu anggota legislatif.
Prinsip kedaulatan rakyat, menurut MK, menjadi sangat penting karena, kecuali merupakan norma dasar juga sebagai moralitas konstitusi.
Baik peran partai politik maupun prinsip kedaulatan rakyat harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man) (halamann 102).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.