Kedua, Mahkamah secara tersirat menyatakan pentingnya peran partai politik dalam proses rekrutmen pimpinan politik.
Mahkamah menghendaki peran partai politik agar mampu memilih calon-calon legislatif yang cakap untuk kepentingan rakyat.
Karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dikehendakinya tanpa melalui partai politik (halaman 103).
Ketiga, Mahkamah memberikan tafsir ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dalam kaitan pemilu, mengandung makna rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat.
Rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam pemenangan pemilu oleh partai politik sebagai peserta pemilu (halaman 103-104).
Memang tidak dapat disangkal bahwa Mahkamah memberikan catatan positif terhadap sistem proporsional terbuka dalam Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008.
Pertama, Mahkamah berpendapat sistem proporsional terbuka memberi ruang rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih.
Sistem ini dinilai Mahkamah lebih sederhana dan memudahkan rakyat menentukan siapa yang berhak terpilih melalui dukungan suara paling banyak (halaman 104).
Kedua, Mahkamah menyatakan sistem ini lebih adil, baik bagi calon legislatif dan masyarakat, anggota maupun bukan anggota partai politik oleh karena kemenangan seseorang calon terpilih tidak lagi bergantung kepada partai politik peserta Pemilu (halaman 104).
Terkait dengan sistem proporsional setengah terbuka sebagaimana dalam Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008, Mahkamah menilai sebagai inkonstitusional.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30 persen (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30 persen (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30 persen (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta.
Ketentuan di atas adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan prinsip keadilan (halaman 104).
Melanggar kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.
Melanggar prinsip keadilan jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil (halaman 105).
Menurut Mahkamah, setiap pemilihan tidak boleh menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg (halaman 105).
Sedangkan, ketentuan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 mengandung standar ganda karena memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil (halaman 106).
Dalam hemat penulis, Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 memiliki makna penting dalam kaitan menjawab perdebatan sistem pemilu, apakah menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup.
Sebagaimana telah dikemukakan, Mahkamah memang telah memberikan sikap positif terhadap sistem proporsional terbuka.
Pertanyaannya, apakah dengan demikian, Mahkamah menolak sistem proporsional tertutup?
Sejauh penelaahan penulis atas Putusan MK tersebut tidak ada penilaian Mahkamah yang menyatakan demikian.
Bahwa Mahkamah mengapresiasi secara positif adanya sistem proporsional terbuka memang benar. Namun tidak ada pernyataan yang menilai sistem proporsional tertutup sebagai sistem pemilu yang tidak baik.
Dari pernyataan tersirat Mahkamah, hemat penulis, Mahkamah membuka ruang diberlakukannya sistem proporsional terbuka maupun tertutup.