Aturan baru KPU ini dinilai menciptakan kemunduran yang kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih melalui advokasi tahunan para aktivis dan penyelenggara negara yang ingin penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Terlebih, selama ini, aturan yang ada telah berhasil memaksa partai politik memenuhi keterwakilan perempuan dalam caleg yang mereka daftarkan ke KPU.
Ini tampak dari jumlah caleg perempuan yang, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Baca juga: KPU Beri Sinyal Tak Revisi Aturan yang Dinilai Bisa Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan 2024
Pada 2004, persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29. Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, persentasenya semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
KPU RI menyebut bahwa diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
"Dan terkait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan presentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, Rabu (3/5/2023).
"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya partai politik karena affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen) bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi. Itu yang ditangkap seperti itu," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.