JAKARTA, KOMPAS.com - Aturan baru KPU soal teknis penghitungan keterwakilan bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan diperkirakan bakal berdampak di hampir separuh dari seluruh daerah pemilihan (dapil) DPR RI.
Aturan baru ini sedang menjadi sorotan. KPU banyak dikritik karena teknis penghitungannya tidak mendukung afirmasi perempuan dan justru berpotensi mengurangi keterwakilan caleg perempuan dari ambang 30 persen.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, berujar bahwa secara matematis, dapil-dapil yang terdampak adalah dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11.
Baca juga: Bawaslu Diminta Sikapi Aturan Baru KPU yang Bisa Kurangi Porsi Perempuan di Parlemen
"Kami coba menghitung, untuk DPR RI misalnya (aturan baru KPU) berpotensi berdampak kepada berapa dapil. Ternyata dampaknya itu kurang lebih ada di sekitar 38 dapil yang jumlah (kursi di tiap dapil) tadi itu," ujar dia dalam jumpa pers, Minggu (7/5/2023).
Jumlah tersebut setara 45 persen dari total 84 dapil DPR RI yang tersebar di seluruh wilayah dan memiliki alokasi 580 kursi di Senayan.
Pemenuhan keterwakilan 30 persen perempuan dianggap semakin riskan di dapil-dapil tadi, sebab belum tentu seluruh partai politik menyerahkan daftar bacaleg dalam jumlah maksimal kursi yang dimungkinkan di tiap dapil, misalnya mencalonkan empat caleg di dapil dengan alokasi kursi empat dan seterusnya.
"Misalkan jumlah kursi 10, partai mencalonkan 8, tentu semakin berkurang lagi perempuan yang dicalonkan," ujar perempuan yang akrab disapa Ninis.
"Ini tentu sangat mengecewakan karena ini perjuangan yang sudah cukup panjang dilakukan," imbuh dia.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Kritik Aturan Baru KPU yang Bisa Kurangi Perempuan di Parlemen
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
KPU membuka kemungkinan pembulatan desimal ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Hal ini berbeda dengan beleid sejenis untuk Pemilu 2019, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang menerapkan pembulatan desimal ke atas.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: KPU Janji Tindak Lanjuti Keluhan Bawaslu soal Akses Terbatas Sistem Informasi Pencalonan
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
Jika hal ini terjadi di 38 dapil atau bahkan seluruh dapil, maka jumlah perempuan di parlemen diprediksi akan anjlok signifikan.
Aturan baru KPU ini dinilai menciptakan kemunduran yang kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih melalui advokasi tahunan para aktivis dan penyelenggara negara yang ingin penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Terlebih, selama ini, aturan yang ada telah berhasil memaksa partai politik memenuhi keterwakilan perempuan dalam caleg yang mereka daftarkan ke KPU.
Ini tampak dari jumlah caleg perempuan yang, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Baca juga: KPU Beri Sinyal Tak Revisi Aturan yang Dinilai Bisa Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan 2024
Pada 2004, persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29. Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, persentasenya semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
KPU RI menyebut bahwa diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
"Dan terkait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan presentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, Rabu (3/5/2023).
"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya partai politik karena affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen) bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi. Itu yang ditangkap seperti itu," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.