JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat pemilu Wahidah Suaib yang tergabung dalam organisme Maju Perempuan Indonesia (MPI) meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tak tinggal diam soal aturan baru Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bisa mengurangi keterwakilan perempuan di parlemen.
Mantan komisioner Bawaslu ini menegaskan bahwa lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengoreksi KPU melalui ragam upaya.
Terlebih, pembuatan peraturan KPU merupakan salah satu tahapan Pemilu 2024 yang sudah jelas merupakan objek pengawasan Bawaslu.
Baca juga: Diwarnai Karnaval Budaya, Besok PKS Daftarkan 580 Bacaleg DPR RI Ke KPU
"Bawaslu punya juga kewenangan melakukan uji materi terhadap peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang. Kedua, Bawaslu kan juga menegakkan aturan undang-undang, bisa memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan KPU," ungkap Wahidah dalam jumpa pers, Minggu (7/5/2023).
"Ada 3 jalan (yang bisa dilakukan Bawaslu). Pertama, uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Kedua, memproses dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU. Ketiga, secara persuasif meminta KPU mengoreksi peraturan itu," jelas dia.
Wahidah menilai KPU telah berlaku ahistoris dengan menerbitkan aturan baru yang justru bertentangan dengan semangat untuk terus meningkatkan derajat keterwakilan perempuan dalam pemilu dan lembaga negara.
KPU dinilai justru menciptakan kemunduran, melalui aturan baru ini, yang kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih melalui advokasi tahunan para aktivis dan penyelenggara negara yang ingin penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Jumlah caleg perempuan, misalnya, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Baca juga: Wakil Ketua MPR Kritik Aturan Baru KPU yang Bisa Kurangi Perempuan di Parlemen
Pada 2004, persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29.
Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, persentasenya semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Wahidah menilai, perkembangan ini merupakan hasil paksaan dari Undang-undang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen perempuan dalam daftar caleg.
"Tolong KPU tidak ahistoris terhadap itu," ujar dia.
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Baca juga: KPU Diminta Jeli Periksa Pendaftaran Bacalon DPD Terkait Eks Koruptor dan Kader Partai
KPU membuka kemungkinan pembulatan desimal ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Hal ini berbeda dengan beleid sejenis untuk Pemilu 2019, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang menerapkan pembulatan desimal ke atas.