JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai memperlihatkan sikap arogan dengan menyatakan tidak menyampaikan permintaan maaf terhadap korban dan ahli waris 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat
Pernyataan penolakan menyampaikan permintaan maaf itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan usai rapat membahas kelanjutan penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (2/5/2023) lalu.
"Kami menilai, pernyataan tersebut secara terang menunjukan wajah arogansi negara atas luka dan dosa yang telah ditorehkan kepada para keluarga korban Pelanggaran HAM Berat masa lalu," kata Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan pers yang dikutip pada Minggu (7/5/2023).
Baca juga: Mahfud MD: Kami Tak Cari Pelaku Kasus Pelanggaran HAM Berat
Menurut Fatia, korban dalam kasus pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan (commission/omission Badan/Pejabat Pemerintahan yang melawan hukum).
Fatia mengatakan, berdasarkan hukum yang berlaku universal, negara sebagai pengemban tugas atau duty bearer memiliki serangkaian kewajiban yang harus dilakukan secara holistik terhadap para korban kasus pelanggaran HAM berat.
Bentuk kewajiban oleh negara, kata Fatia, adalah untuk mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban untuk mengembalikan keadaan korban (duty to redress) serta kewajiban untuk menjamin tak ada lagi repetisi pelanggaran HAM (non-recurrence).
"Dalam pengalaman internasional, Pemerintah juga dapat belajar dari pemerintah Afrika Selatan pasca politik apartheid runtuh dengan berani meminta maaf, mengakui dan mempertanggungjawabkan kesalahannya," ucap Fatia.
Baca juga: Mahfud Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf Atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sebelumnya diberitakan, Mahfud menyatakan pemerintah tidak meminta maaf atas 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
Baca juga: Mahfud: Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Ada 12, Tidak Bisa Ditambah
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
Baca juga: Jokowi Didesak Minta Maaf kepada Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.