"Mengapa kasus-kasus seperti itu masih marak? Karena formasi yang ada di kepolisian diisi oleh kelompok-kelompok pro status quo, pro kemapanan akibat pelanggaran-pelanggaran," ujar Bambang saat dimintai konfirmasi, Rabu (3/5/2023).
Baca juga: Ulik Kekayaan AKBP Achiruddin, KPK Koordinasi dengan Itwasum Polri
Bambang ragu reformasi di kepolisian bisa terjadi. Sebab, polisi-polisi yang pro status quo ini masih mendominasi di jabatan-jabatan strategis.
Sementara itu, polisi yang masuk ke dalam kelompok progresif tidak mendapat peran atau jabatan, sehingga tidak bisa berbuat banyak.
Bambang menyindir kalau perintah Kapolri agar jajarannya tidak bergaya hidup mewah hanya bentuk retorika saja. Sebab, elite-elite di Polri saja masih menjadi bagian dari kelompok pro status quo yang ikut bergaya hidup hedon yang berbiaya mahal.
Bambang mengatakan, polisi tidak bisa hanya mengandalkan gaji resmi untuk memiliki kekayaan yang fantastis.
"Kalau mengandalkan gaji resmi, jelas tak mungkin. Makanya mereka mencari-cari pendapatan dengan menggadaikan kewenangan yang diberikan negara," ucapnya.
Baca juga: Pakar Sebut Reformasi Polri Tak Akan Pernah Selesai
Bambang meyakini bahwa polisi kerap mendapat gratifikasi sehingga bisa memiliki kekayaan yang fantastis. Hanya, dia menyebut kalau gratifikasi hanyalah masalah yang sederhana. Masih ada yang lebih parah lagi dari itu.
"Yang lebih parah adalah perilaku koruptif dengan menyalahgunakan kewenangan," kata Bambang.
Bambang memberi contoh kasus yang masih hangat saat ini. Dia menyinggung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang sudah mendeteksi aliran dana tak wajar pada AKBP Achiruddin Hasibuan sejak lama.
Dalam hal ini, Polri memiliki Peraturan Polri (Perpol) untuk melakukan pengawasan secara melekat terhadap anggotanya.
Bambang mempertanyakan pengawasan yang sudah Polri lakukan kepada anggotanya sendiri, dengan berbekal Perpol tersebut.
"Selama ini fungsi-fungsi pengawasan itu ke mana saja? Atau jangan-jangan juga mendapat bagian aliran dari Achiruddin sehingga diam atau tutup mata selama ini?" tukasnya.
"Indikasinya demikian (saling menutupi karena punya penghasilan sampingan serupa). Jadi mereka saling menutupi. Makanya dalam kasus Ferdy Sambo banyak yang terseret, karena mereka adalah bagian kelompok pro status quo itu," sambung Bambang.
Lalu, contoh selanjutnya adalah kasus BBM ilegal di lingkup Polda Kalimantan Utara (Kaltara), di mana Kabid Propam Polda Kaltara Kombes Teguh yang mengusutnya malah dinonaktifkan oleh Kapolda Kaltara Irjen Daniel Aditya. Belakangan, Kombes Teguh telah dikembalikan ke jabatannya.
Adapun di lingkup Polda Kaltara sendiri, ada dugaan bahwa mereka menerima uang suap dari pengusaha sebesar Rp 1,7 miliar. Kasus ini tengah diusut Mabes Polri.
Akan tetapi, Bambang kecewa karena selama ini permasalahan-permasalahan seperti itu hanya menyentuh permukaannya saja, tidak sampai ke akar.
Baca juga: Menteri sampai Jenderal di Polri Belum Lapor LHKPN Periode 2022
"Demikian juga dengan kasus-kasus yang lain, tambang ilegal Ismail Bolong, mafia tambang, Konsorsium 303, dan lain-lain. Tak ada satupun petinggi kepolisian yang dimintai pertanggungjawaban," jelas Bambang.
Bambang pun mengaku heran dengan Polri yang tidak kunjung berubah atau berbenah, padahal zaman terus berkembang.
Dia mengatakan publik kini sudah menemukan salurannya untuk mengawasi polisi, yakni dengan media sosial yang bisa membuat segalanya menjadi viral.
Bambang mengingatkan kalau media sosial tidak bisa dibungkam. Karena, kata dia, sosok yang membungkam pasti akan kena 'bumerang' nya sendiri lewat media sosial.
Maka dari itu, Bambang yakin kalau polisi-polisi yang tertangkap atau terbongkar kekayaannya hanya sedang apes saja.
Dia tidak heran kalau ke depannya, masih akan ada banyak kasus serupa yang menyeret anggota polisi.
Terkait dengan kelompok progresif yang disebut Bambang di awal, dia menyebut kalau polisi yang masuk golongan tersebut juga sudah menemukan salurannya.
Baca juga: Klaim Teddy Minahasa Jadi Korban Perang Bintang Polri dalam Kasus Narkoba...