Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Christo Sumurung Tua
Dosen

Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember

Koreksi Sistem Penegakan Hukum Pemilu Pasca-Putusan Perdata Kontroversial

Kompas.com - 28/03/2023, 16:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/ Pdt.G/2022/ PN Jkt Pst tanggal 2 Maret 2023, telah menarik perhatian banyak pihak.

Bagaimana tidak, suatu putusan perdata memerintahkan proses tahapan pemilu yang saat ini berlangsung harus dihentikan, dan kemudian tahapannya dimulai lagi dari awal dengan akumulasi waktu 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.

Apabila putusan ini dilaksanakan, maka pelaksanaan pemilu 2024 akan tertunda ke tahun 2025.

Di satu sisi dapat dipahami bahwa niat dari putusan tersebut untuk memberikan perlindungan kepada salah satu partai politik (parpol) yang merasa haknya telah dirugikan.

Lantas bagaimana dengan hak dari seluruh parpol yang telah berstatus sebagai peserta pemilu tahun 2024? Apabila seluruh tahapan harus diulang dari awal, otomatis seluruh parpol peserta pemilu tersebut juga harus mengulang mulai dari proses pendaftaran.

Hal ini tentu juga harus dikaji secara mendalam apa dampaknya kedepan. Jangan sampai karena alasan perlindungan satu kelompok berakibat kerugian yang berdampak kepada khalayak banyak.

Putusan Perdata kontroversial

Untuk itu akan dilakukan analisis kajian mengenai putusan PN Jakpus tersebut. Pertama, mengenai kompetensi absolut dari PN Jakpus terhadap perkara aquo.

Berdasarkan putusan PN Jakpus, dapat dilihat bahwa objek dari gugatan penggugat adalah adanya kerugian akibat tidak lolosnya penggugat ketahapan verifikasi faktual parpol calon peserta pemilu 2024.

Objek gugatan dalam hukum perdata adalah karena adanya perbuatan wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materil dan/atau immateril.

Dengan demikian, apabila ditarik dari kasus tersebut, maka mengenai kerugian yang dialami oleh Partai Prima dapat saja masuk ke ranah Perdata.

Walaupun sebenarnya masih lebih layak bila perkara tersebut digugat melalui ranah hukum tata usaha negara di PTUN. Pasalnya, kerugian yang dialami tersebut adalah akibat tindakan dari pejabat tata usaha negara dan juga dalilnya dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Kedua, melihat dalil gugatan penggugat bahwa hal yang merugikannya adalah tindakan KPU dalam proses verifikasi, maka sepatutnya hakim dalam ranah hukum perdata seharusnya menghukum KPU atas tindakannya saja.

Apabila tindakan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis, maka dokumen bentuk tertulis tersebutlah yang dibatalkan oleh hakim.

Hal ini juga dikarenakan sifat dari hukum perdata bersifat privat, yang artinya mengenai hubungan hak dan kewajiban antarperorangan sehingga daya ikat putusan tersebut harusnya hanya terhadap pihak yang berperkara saja.

Hal privat ini yang kemudian menjadi tolok ukur adanya istilah “kurangnya para pihak” dalam hukum acara perdata, sehingga suatu kewajiban untuk terlebih dahulu menarik seluruh pihak yang berkaitan dengan perkara kedalam gugatan, agar kemudian dapat dihukum secara perdata.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com