Ketiga, yang kemudian mengakibatkan kontroversi saat hakim PN Jakpus dalam perkara perdata menganulir ranah pemilu yang bersifat publik. Bahkan pelaksanaan pemilu tersebut telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7 tahun 2017 (UU Pemilu).
Sehingga pertimbangan hakim dalam putusannya yang menjadikan norma “Pemilu Lanjutan” dan “Pemilu Susulan” sebagai acuan memutuskan adalah tidak tepat.
Pasalnya, secara tidak langsung telah memberikan penafsiran dengan menilai tindakan KPU yang tidak cermat, tidak teliti, tidak profesional dan tidak adil tersebut dapat dijadikan dasar penundaan pemilu 2024.
Sedangkan berdasarkan UU Pemilu, yang dapat menjadi akibat pemilu lanjutan dan pemilu susulan hanya apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya di sebagian atau seluruh wilayah NKRI.
Maka tentu putusan tersebut telah bertentangan dan menabrak norma konstitusi dalam Pasal 22E UUD 1945 dan Pasal 167 ayat (1) UU Pemilu yang secara eksplisit telah menentukan waktu pelaksanaan pemilu setiap 5 tahun sekali.
Bahkan dari kewenangannya, peradilan tingkat pertama tidak berwenang menafsirkan UU. Wewenang penafsiran UU hanya ada pada peradilan di atasnya, yaitu Mahkamah Agung (MA). Sedangkan dalam menafsirkan UUD 1945 diberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Sehingga bilapun dikaitkan dengan kebebasan dan kemandirian hakim dalam mengadili suatu perkara, bukanlah berarti kebebasan dan kemandirian tersebut tak terbatas, karena adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur.
Sehingga berdasarkan hal itu, tidaklah akan menimbulkan masalah jika PN Jakpus hanya memutuskan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar ganti rugi kepada Partai Prima.
Namun yang menjadi masalah ketika putusan perdata tersebut menyentuh kepentingan publik, dan yang lebih fatalnya ketika putusan tersebut telah menabrak Konstitusi dan UU Pemilu.
Di sisi lain tidak dapat dipungkiri, peristiwa ini telah menambah referensi tentang perlunya dilakukan kembali perbaikan terhadap sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia.
Khususnya terhadap putusan PN Jakpus ini, di mana yang menjadi asal muasalnya adalah dari adanya permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu, yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU atas Berita Acara Nomor 232 tahun 2022 yang menyatakan partai prima Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam tahapan verifikasi parpol.
Kemudian Bawaslu memeriksa dan memutus permohonan tersebut dalam putusan Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 dengan mengabulkan sebagian dan memerintahkan untuk melakukan perbaikan dokumen dan verifikasi dokumen persyaratan perbaikan, yang selanjutnya para pihak menerima dan melaksanakan putusan Bawaslu tersebut.
Namun setelah dilakukannya proses perbaikan, KPU kemudian menerbitkan berita acara terhadap perbaikan yang telah dilakukan Partai Prima dengan tetap menyatakan TMS terhadap Partai Prima yang tertuang dalam Berita Acara KPU Nomor 275 tahun 2022.
Sehingga atas hal itu, Partai Prima kemudian kembali mengajukan upaya administratif ke Bawaslu. Namun berdasarkan hasil verifikasi permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, sebab hal itu merupakan objek permohonan yang dikecualikan karena sudah pernah diperiksa dan diputus oleh Bawaslu.
Maka kemudian Partai Prima mengajukan gugatan kepada PTUN Jakarta, dengan objek gugatan adalah Berita Acara KPU Nomor 275 tahun 2022.