Sehingga proses pendaftaran pemilih berlaku hampir sepanjang tahapan pemilu. Tujuannya agar daftar pemilih menjadi akurat. Tapi tidak jarang hasilnya justru meleset.
Sinkronisasi data Kemendagri dan KPU adalah tahapan awal. Hasil pemadanan tersebut kemudian diturunkan ke masing-masing kabupaten/kota untuk dilakukan pencocokan dan penelitian.
Hasilnya dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk diberi masukan banyak pihak. Hasil masukan tersebut diwujudkan dalam Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).
Setelah dilakukan rekapitulasi berjenjang, kemudian ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap oleh KPU Kabupaten/Kota untuk dijadikan dasar berapa jumlah logistik pemilu yang dibutuhkan.
Tidak berhenti di situ, setelah ditetapkan menjadi DPT, pemilih yang ternyata memilih untuk pindah memilih ke tempat lain dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
Adapun penduduk yang baru memiliki KTP elektronik setelah ditetapkannya DPT atau memiliki KTP tetapi tidak terdaftar di DPT, maka dimasukkan dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) di hari pemungutan suara nanti. Tentu dengan syarat keterbatasan wilayah di mana dia bisa menggunakan hak asasinya.
Dua tantangan itulah problemetika penyusunan daftar pemilih yang menahun. Persoalannya sudah bisa ditebak sejak awal, tapi solusi konkret belum ada yang menemukan hingga bisa keluar dari lubang jarum.
Oleh karena itu, menyikapi situasi yang berulang-ulang ini perlu dilakukan dengan cara pandang yang berbeda.
Cara pandang yang memiliki kesadaran yang kuat. Sadar memastikan pendataan pemilih tidak bisa dilakukan dengan cara sok-sok’an, hanya bertumpu pada ketentuan dan mempertahankannya mati-matian.
Setidaknya terdapat tiga cara dalam mengubah cara pandang agar proses pemutakhiran daftar pemilih semakin enak dijalani.
Pertama; kesadaran akurasi. Percayalah, sekuat-kuatnya penyelenggara pemilu menyempurnakan data pemilih, data tersebut tidak akan bersih dari pemilih yang tidak memenuhi syarat.
Sepanjang KPU dan Bawaslu tidak memiliki kewenangan menghentikan kematian, maka pemilih yang sudah meninggal tetap akan ada dalam daftar pemilih.
Oleh karena itu, turunkanlah niat untuk membuat daftar pemilih bersih dari pemilih wafat. Sepanjang pemilih masih bernapas, KPU wajib mencatatnya.
Jika sudah menjadi DPT dan ditemukan pemilih meninggal dunia, maka Bawaslu melakukan rekomendasi untuk melakukan penandaan saja.
Titik tolaknya adalah penyelenggara pemilu fokus pada pemenuhan hak sekaligus membuat pemilih terdaftar menggunakan hak tersebut.