Sebagian daerah yang ditetapkan untuk melaksanakan pilkada secara asimetris harus memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis yang memadai. Baik karena tingkat pendidikan, kesadaran politik, infrastruktur, letak geografis, jumlah penduduk, hingga potensi konflik sosial secara horisontal maupun vertikal.
Wacana pilkada asimetris hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah khusus.
Selain DIY dan DKI, daerah khusus yang memungkinkan untuk melaksanakan pilkada asimeteris ialah Aceh dan Papua (serta daerah otonomi baru/DOB Papua).
Begitu pula, wacana pelaksanaan pilkada secara tidak langsung kepada beberapa daerah tersebut harus dilakukan kajian secara komprehensif. Perlu ada kriteria ketat dan memadai atas urgensi pilkada tidak langsung terhadap daerah-daerah tersebut.
Jika alasannya karena praktik money politic atau rawan korupsi akibat biaya pilkada langsung yang amat mahal, hemat saya opsi itu tentu tidak solutif. Yang terjadi apabila pilkada dilakukan DPRD, hanya menggeser subjek dan objek. Praktik money politic tidak lantas ikut tertangkal.
Begitu pula, di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik (parpol dan DPR), wacana itu tentu akan menimbulkan resistensi, serta gejala money politic dan korupsi akan terjadi lebih terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Jika satu suara rakyat sebelumnya dihargai 50-100 ribu, maka nilai kursinya (di DPRD) akan ratusan kali lipat kepada satu suara anggota DPRD.
Baca juga: Pilkada Asimetris Dikhawatirkan Ciptakan Diskriminasi Daerah dan Ancam Kesatuan Bangsa
Sudah menjadi rahasia umum, yang tak kalah mahal dalam kontestasi pilkada ialah harga selembar surat rekemendasi partai politik pengusung maupun pendukung.
Jika pilkada dilakukan DPRD, pasangan calon yang mampu membayar dan menggaet dukungan sebagian besar partai politik dapat dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah. Lantaran anggota DPRD yang memilihnya pasti akan mengikuti instruksi partainya.
Selain itu, pola pertanggungjawaban kepala daerah juga akan beralih dari rakyat kepada DPRD. Akibatnya, rakyat tidak lebih dari objek yang tidak terlalu berpangaruh dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala daerah.
Maka, wacana MPR melaksanakan pilkada secara asimetris tidak mendapatkan urgensi yang mendesak, serta akan lebih berpotensi menciptkan kekacauan politik dan biaya politik yang lebih mahal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.