JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka posko pengaduan bagi orang-orang yang menjadi korban kecurangan putusan hakim.
Tindakan ini perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari kasus suap yang terjadi di lingkungan peradilan, termasuk korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati di Mahkamah Agung (MA).
Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani mengatakan, posko itu diperlukan untuk mengumpulkan informasi, fakta, dan bukti dari suatu putusan hakim yang diduga korupsi.
“KPK harus membuka ‘posko pengaduan’ khusus korban putusan Hakim,” kata Julius dalam keterangan resminya kepada Kompas.com, Minggu (13/11/2022).
Menurut Julius, pengaduan korban putusan hakim ini tidak terakomodasi Badan Pengawasan (Bawas) MA dan komisi Yudisial.
Julius menuturkan, KPK memiliki mandat ‘trigger mechanism’.
Menurutnya, KPK tidak hanya mendorong pembenahan sistem dan aparat penegak hukum.
Lembaga antirasuah juga harus mengonstruksi atau membongkar ulang komoditas korupsi.
“Bila perlu, KPK menggali informasi, fakta dan bukti dari seluruh pihak yang berperkara, baik advokat maupun prinsipalnya,” kata Julius.
Julius menuturkan, korban putusan hakim yang korup nantinya bisa mendapatkan bukti baru atau novum.
Novum akan berguna dan menjadi dasar untuk melakukan langkah Peninjauan Kembali (PK) sebagai bentuk upaya hukum luar biasa.
Baca juga: Jejak Hakim Agung Gazalba Saleh: Sunat Hukuman Edhy Prabowo hingga Berada di Pusaran Kasus Suap
Dengan demikian, korban putusan itu berpeluang mendapatkan pertimbangan dan amar yang memenuhi keadilan dan kemanfaatan.
“Bukan hanya kepastian hukum saja,” ujar Julius.
Kasus korupsi di MA
KPK melakukan tangkap tangan terhadap hakim yustisial MA, Elly Tri Pangestu, sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di MA, pengacara, dan pihak Koperasi Simpan Pinjam Intidana.