Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Dinilai Perlu Buat Panduan Percepatan Reformasi Polri untuk Kikis Kultur Militeristik

Kompas.com - 11/10/2022, 05:55 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar psikologi forensik sekaligus pemerhati kepolisian Reza Indragiri Amriel berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dengan menerbitkan aturan sebagai panduan Polri dalam penggunaan persenjataan dan penanganan massa.

Menurut Reza cara itu dinilai lebih baik karena proses reformasi internal Polri yang selalu digaungkan dinilai belum sesuai harapan.

Selain itu, Polri juga saat ini menjadi sorotan karena sejumlah anggotanya terlibat dalam pelanggaran pidana, bahkan hingga menghilangkan nyawa orang lain seperti Ferdy Sambo.

Baca juga: Anggota TGIPF Sebut Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan Jadi Bersifat Mematikan

Atau peristiwa tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu yang diduga disebabkan kepanikan penonton laga Arema FC-Persebaya yang dipicu tembakan gas air mata dari kepolisian.

"Jadi, karena perubahan mindset dan kultural butuh waktu panjang dan berliku, maka langkah praktisnya adalah fokus pada 'memaksa' agar perilakunya yang berubah," kata Reza dalam keterangan yang disampaikan melalui pesan WhatsApp pada Senin (11/10/2022).

"Isi kepala, urusan belakangan. Perilakunya harus berubah. Mindset dan kultur akan menyusul," ujar Reza.

Baca juga: Polri: Gas Air Mata Dalam Skala Tinggi Tidak Mematikan

Reza mencontohkan cara seperti itu pernah ditempuh oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 18 Desember 2014.

Saat itu terjadi kerusuhan di wilayah Ferguson, Missouri, setelah penembakan seorang warga bernama Michael Brown oleh seorang polisi bernama Darren Wilson.

Presiden Obama lantas membentuk tim untuk menyelidiki dan meneliti berbagai kebijakan yang memicu aparat kepolisian di Amerika Serikat bertindak brutal laiknya organisasi paramiliteristik.

Reza menilai jika Polri terus menerus menerapkan pendekatan hukum yang keras terhadap masyarakat, maka bisa membuat warga semakin sinis dan resisten terhadap aparat kepolisian.

Baca juga: Polri Sebut 131 Korban Tewas Tragedi Kanjuruhan karena Kurang Oksigen, Bukan Gas Air Mata

"Legal cynicism ditandai oleh ketidakpatuhan masyarakat pada hukum dan keengganan masyarakat bekerjasama dengan polisi," ucap Reza.

Reza juga menyoroti Korps Brimob Polri yang kini menampilkan seragam loreng mirip tentara. Menurut dia hal itu membuat polisi semakin terkesan sebagai organisasi yang paramiliteristik.

"Jadi, alih-alih memberlakukan seragam perang seperti itu, lebih baik polisi pakai baju berwarna terang. Terang mengirim pesan tenang, terbuka, santun, dan bisa didekati," kata Reza.

"Pangkat dan segala atribut disederhanakan saja. Versi gagahnya baru dipakai saat upacara," lanjut Reza.

Baca juga: Temuan Komnas HAM: Massa di Kanjuruhan Terkendali, tapi Memanas karena Tembakan Gas Air Mata

Reza menilai sikap anggota Polresta Malang Kota yang bersujud sebagai wujud meminta maaf atas Tragedi Kanjuruhan patut dipuji.

Akan tetapi, dia menilai ada hal yang lebih penting dari sekadar meminta maaf yakni keseriusan Polri dalam melakukan reformasi di lembaga itu.

"Apologi tanpa akuntabilitas jelas tak banyak bermanfaat. Seperti halnya frasa 'reformasi kepolisian'. Sudah membahana sejak puluhan tahun silam, dan digemakan lagi hari-hari belakangan ini, tapi bagaimana reformasi itu akan dilakukan?" ujar Reza.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com