JAKARTA, KOMPAS.com - Pencopotan secara tiba-tiba Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh DPR berbuntut panjang.
Sejumlah mantan hakim MK melawan balik dan menyatakan bahwa keputusan yang diambil DPR mencopot Aswanto melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan sejumlah aturan lain.
Pada Sabtu (1/10/2022) siang, para mantan hakim MK berkumpul di Gedung MK untuk membahas pencopotan Aswanto.
Baca juga: Aswanto Dicopot DPR Gara-gara Batalkan UU, Jimly: Hakim MK Bukan Orang DPR
Eks hakim MK tersebut yakni Mahfud yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, dan Hamdan Zoelva.
Kemudian terdapat Laica Marzuki, Haryono, Ahmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna yang hadir secara daring.
Dari hasil pertemuan tersebut mereka menyatakan bahwa pencopotan Aswanto oleh DPR melanggar aturan.
“Melanggar UUD, bertentangan dengan UU dan salah pahami isi dan maksud surat pemberian konfirmasi oleh MK seolah permintaan konfirmasi dari MK,” kata Jimly melalui pesan singkat, Sabtu.
Sebagaimana diketahui, Aswanto dicopot dan digantikan oleh Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah. Melalui Rapat Paripurna DPR pada Kamis (29/9/2022), DPR mengesahkan Guntur menjadi hakim MK.
Baca juga: Sepak Terjang Aswanto, Hakim MK yang Tiba-tiba Dicopot DPR
Pengesahan ini cukup mengejutkan. Sebab, pengesahan itu tidak masuk dalam agenda rapat paripurna DPR hari ini.
Jimly menyatakan, hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR bukan berarti menjadi perwakilan DPR di MK.
Ia mengingatkan, Undang-Undang MK mengatur bahwa hakim MK hanya "diajukan" oleh DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.
"Diajukan oleh, jadi bukan diajukan dari, itu selalu saya gambaran. Apa beda oleh dan dari, oleh itu cuma merekrut, jadi bukan dari dalam," tegas Jimly di Gedung MK, Sabtu siang.
"Sehingga tidak bisa dipersepsi orang yang dipilih oleh DPR itu orangnya DPR seperti tercermin dalam statement dari Komisi III," sambung Jimly.
Jimly menyebut sejak pertama kali berdiri, MK sudah membuat banyak pihak marah karena membatalkan sejumlah UU.
Namun demikian, ia menegaskan, negara demokrasi yang sejati memang perlu memiliki lembaga seperti MK guna melindungi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik untuk membuat UU.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.