“Di sana (DPR) itu majority rule, di sini (MK) minority rights, ini tempat untuk melindungi minoritas. Minoritas itu bukan hanya agama, etnis, bukan begitu, minoritas kekuatan politik," kata Jimly.
"Jadi kalau tidak ada pengadilan yang independen, itu demokrasi itu prosedural, enggak punya arti," ujar dia.
Baca juga: Sepak Terjang Aswanto, Hakim MK yang Tiba-tiba Dicopot DPR
Sementara itu, Mahfud menyatakan pemerintah tidak akan mencampuri keputusan DPR yang mengganti Aswanto.
Mahfud mengatakan, hal itu merupakan ranah DPR karena terdapat peraturan yang mengatur bahwa hakim MK berasal dari pilihan DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.
“Saya tidak tahu mekanisme di DPR, saya enggak akan ikut campur," kata Mahfud kepada wartawan di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Sabtu.
Mengenai usul agar Presiden Joko Widodo tidak melantik Guntur Hamzah yang diusulkan DPR menggantikan Aswanto, Mahfud mengaku akan mempelajarinya.
Sebab, kata dia, hukum tata negara mengatur bahwa presiden tidak mengangkat sosok yang dipilih oleh DPR, melainkan meresmikan.
"Meresmikan itu artinya presiden tak boleh mempersoalkan alasannya gitu, tapi kita lihatlah perkembangannya," kata Mahfud.
Baca juga: Direktur Pusako Sebut Pergantian Hakim Konstitusi Aswanto ke Guntur Tidak Prosedural
Ia menambahkan, berkaca dari peristiwa ini, pemerintah akan mempelajari perlu tidaknya mekanisme pergantian hakim MK bila suatu saat dibutuhkan.
“Kalau di DPR mekanismenya saya tidak tahu, di MA juga saya tidak tahu, yang pemerintah nanti akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan," ujar Mahfud.
Diobok-obok
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai, DPR tengah mencoba mengutak-atik MK atas pencopotan Aswanto.
Menurutnya, MK saat ini tengah diobok-obok oleh kepentingan politik DPR.
"Harus jadi catatan penting ini bahwa DPR coba mengobok-obok Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan kepentingan politik mereka," kata Feri.
Feri berpandangan, sejumlah alasan Komisi III DPR memberhentikan Aswanto adalah salah kaprah.