Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Mantan Hakim MK Lawan Balik DPR Usai Aswanto Dicopot

Kompas.com - 02/10/2022, 08:28 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Pencopotan secara tiba-tiba Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh DPR berbuntut panjang.

Sejumlah mantan hakim MK melawan balik dan menyatakan bahwa keputusan yang diambil DPR mencopot Aswanto melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan sejumlah aturan lain.

Pada Sabtu (1/10/2022) siang, para mantan hakim MK berkumpul di Gedung MK untuk membahas pencopotan Aswanto.

Baca juga: Aswanto Dicopot DPR Gara-gara Batalkan UU, Jimly: Hakim MK Bukan Orang DPR

Eks hakim MK tersebut yakni Mahfud yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, dan Hamdan Zoelva.

Kemudian terdapat Laica Marzuki, Haryono, Ahmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna yang hadir secara daring.

Dari hasil pertemuan tersebut mereka menyatakan bahwa pencopotan Aswanto oleh DPR melanggar aturan.

“Melanggar UUD, bertentangan dengan UU dan salah pahami isi dan maksud surat pemberian konfirmasi oleh MK seolah permintaan konfirmasi dari MK,” kata Jimly melalui pesan singkat, Sabtu.

Sebagaimana diketahui, Aswanto dicopot dan digantikan oleh Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah. Melalui Rapat Paripurna DPR pada Kamis (29/9/2022), DPR mengesahkan Guntur menjadi hakim MK.

Baca juga: Sepak Terjang Aswanto, Hakim MK yang Tiba-tiba Dicopot DPR

Pengesahan ini cukup mengejutkan. Sebab, pengesahan itu tidak masuk dalam agenda rapat paripurna DPR hari ini.

Bukan Perwakilan DPR

Jimly menyatakan, hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR bukan berarti menjadi perwakilan DPR di MK.

Ia mengingatkan, Undang-Undang MK mengatur bahwa hakim MK hanya "diajukan" oleh DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.

"Diajukan oleh, jadi bukan diajukan dari, itu selalu saya gambaran. Apa beda oleh dan dari, oleh itu cuma merekrut, jadi bukan dari dalam," tegas Jimly di Gedung MK, Sabtu siang.

"Sehingga tidak bisa dipersepsi orang yang dipilih oleh DPR itu orangnya DPR seperti tercermin dalam statement dari Komisi III," sambung Jimly.

Jimly menyebut sejak pertama kali berdiri, MK sudah membuat banyak pihak marah karena membatalkan sejumlah UU.

Namun demikian, ia menegaskan, negara demokrasi yang sejati memang perlu memiliki lembaga seperti MK guna melindungi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik untuk membuat UU.

“Di sana (DPR) itu majority rule, di sini (MK) minority rights, ini tempat untuk melindungi minoritas. Minoritas itu bukan hanya agama, etnis, bukan begitu, minoritas kekuatan politik," kata Jimly.

"Jadi kalau tidak ada pengadilan yang independen, itu demokrasi itu prosedural, enggak punya arti," ujar dia.

Baca juga: Sepak Terjang Aswanto, Hakim MK yang Tiba-tiba Dicopot DPR

Pemerintah Tak Ikut Campur

Sementara itu, Mahfud menyatakan pemerintah tidak akan mencampuri keputusan DPR yang mengganti Aswanto.

Mahfud mengatakan, hal itu merupakan ranah DPR karena terdapat peraturan yang mengatur bahwa hakim MK berasal dari pilihan DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.

“Saya tidak tahu mekanisme di DPR, saya enggak akan ikut campur," kata Mahfud kepada wartawan di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Sabtu.

Mengenai usul agar Presiden Joko Widodo tidak melantik Guntur Hamzah yang diusulkan DPR menggantikan Aswanto, Mahfud mengaku akan mempelajarinya.

Sebab, kata dia, hukum tata negara mengatur bahwa presiden tidak mengangkat sosok yang dipilih oleh DPR, melainkan meresmikan.

"Meresmikan itu artinya presiden tak boleh mempersoalkan alasannya gitu, tapi kita lihatlah perkembangannya," kata Mahfud.

Baca juga: Direktur Pusako Sebut Pergantian Hakim Konstitusi Aswanto ke Guntur Tidak Prosedural

Ia menambahkan, berkaca dari peristiwa ini, pemerintah akan mempelajari perlu tidaknya mekanisme pergantian hakim MK bila suatu saat dibutuhkan.

“Kalau di DPR mekanismenya saya tidak tahu, di MA juga saya tidak tahu, yang pemerintah nanti akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan," ujar Mahfud.

Diobok-obok

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai, DPR tengah mencoba mengutak-atik MK atas pencopotan Aswanto.

Menurutnya, MK saat ini tengah diobok-obok oleh kepentingan politik DPR.

"Harus jadi catatan penting ini bahwa DPR coba mengobok-obok Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan kepentingan politik mereka," kata Feri.

Feri berpandangan, sejumlah alasan Komisi III DPR memberhentikan Aswanto adalah salah kaprah.

Dalam pertimbangannya, DPR mengaku memberhentikan Aswanto yang belum habis masa jabatannya itu karena telah membatalkan produk UU yang disahkan DPR.

Baca juga: Sosok Aswanto, Hakim MK yang Mendadak Diberhentikan karena Kerap Anulir Produk DPR

Feri menegaskan, Aswanto tak bisa dicopot karena alasan itu.

Sebab, ia hanya menjalankan tugasnya sebagai hakim konstitusi, yakni mengoreksi aturan yang keliru.

Feri menegaskan bahwa prinsip utama kekuasaan kehakiman adalah merdeka.

Arti dari merdeka yaitu seorang hakim harus mandiri, terbebas dari intervensi dan campur tangan lembaga lain.

“Alasan Komisi III tidak masuk akal kalau kemudian hakim yang merupakan wakil dari mereka telah menjalankan tugas yang tidak menyenangkan mereka. Di sana saja sudah melanggar prinsip Pasal 24 UUD 1945," nilai Feri.

"Jadi, DPR tidak bisa menyalahkan mereka karena produk undang-undang mereka yang gagal," sambungnya. 

Keputusan Politik

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan, pencopotan Aswanto merupakan keputusan politik.

"Ini adalah keputusan politik. Tentu ini nanti karena hadirnya keputusan politik juga karena adanya surat MK toh? Kan gitu dan nanti kan dasar-dasar hukumnya bisa dicari, tapi ini kan dasar surat dari MK yang mengonfirmasi, tidak ada periodisasi, ya sudah," ujar Pacul saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2022).

Baca juga: Polemik Pencopotan Aswanto dari Hakim Konstitusi

Dia menyebutkan, Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diusulkan DPR. Namun, Pacul menilai Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR karena menganulir produk UU yang dibuat DPR.

“Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," tuturnya.

Dengan demikian, kata Pacul, DPR memutuskan untuk mencopot Aswanto dari hakim konstitusi.

"Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah," kata Pacul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com