Adi menilai bahwa nuansa politik akomodasi sangat kental terasa dalam pengocokan ulang kursi menteri kali ini.
"Alasan merangkul itu segala-galanya kalau dilihat kecenderungan saat ini. Pertanyaannya kan, saya kira, begitu banyak orang yang mengerti soal perdagangan, pertanahan, tapi kenapa hanya itu orang yang dipilih Presiden?" ungkap Adi.
"Kalau bicara kepentingan kinerja harusnya banyak menteri yang di-reshuffle," kata Adi.
Baca juga: Soal Reshuffle Kabinet, Presiden KSPSI: Baru Kali Ini Ada Wamenaker, Tugas Berat Menanti...
Padahal, beberapa menteri Jokowi saat ini juga ditengarai terlibat dalam upaya pencalonan dirinya pada 2024 mendatang, tak terkecuali para menteri yang merupakan ketua umum partai seperti Prabowo Subianto atau Airlangga Hartarto.
"Kan banyak menteri yang melakukan kerja-kerja politik untuk tahun 2024 dan dia sedikit abai terhadap posisinya sebagai pembantu presiden. Itu kan layak di-reshuffle," ujar dia.
Semiotika Istana masih solid
Senada, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya juga menilai bahwa pergantian sejumlah menteri yang dilakukan Jokowi mengarah pada upaya-upaya politik, bukan kinerja.
"Ini pertunjukan politik, bukan reshuffle. Sangat minor jumlahnya," kata Yunarto kepada Kompas TV, Rabu.
"Tidak ada nama yang bisa dianggap secara teknokratis sesuai dengan latar belakang kementerian yang dipimpin, termasuk di kursi wakil menteri," kata dia.
Baca juga: Waketum Bantah Ada Deal Antara Surya Paloh dengan Jokowi Agar Kader Nasdem Tak Kena Reshuffle
Ia melihat terdapat pesan dalam "reshuffle" Jokowi kemarin soal stabilitas politik yang coba dibangun.
Jokowi dinilai ingin menyampaikan bahwa jajarannya bukan "bebek lumpuh" pada sisa dua tahun kepemimpinannya, sebuah istilah yang kerap disematkan pada rezim yang akan pensiun dalam waktu dekat.
Sebab, ada anggapan bahwa jelang 2024, masing-masing menteri seakan tengah membentuk kubu politiknya masing-masing, sehingga timbul persepsi soal koalisi di dalam koalisi.
Sebelum mengumumkan nama-nama baru di kabinet pun, Jokowi membiarkan prosesi makan siang antara dia dengan sejumlah ketua umum partai yang diundang ke Istana dipublikasi.
Baca juga: Jokowi Suguhkan Menu Nusantara hingga Western Saat Jamu 7 Ketum Parpol di Istana
Yunarto menganggap, semiotika semacam ini merupakan gaya kepemimpinan sekaligus komunikasi politik yang sangat khas Jokowi.
"Menurut saya, ini ciri khas Pak Jokowi memimpin. Stabilitas politik ditunjukkan terlebih dulu di hadapan publik baru mereka bekerja," ujar Yunarto.
Politik akomodasi semacam ini sama sekali bukan hal baru mengingat Jokowi, pada 2019 silam, mengejutkan banyak pihak dengan merangkul eks rivalnya di Pilpres yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masuk ke kabinet, diawali dengan drama pertemuan di stasiun MRT Jakarta.
"Itu menunjukkan juga rekonsiliasi sebagai landasan dan modal dia bekerja. Ini juga yang sedang ditunjukkan, menurut saya, hari ini," ujar Yunarto.
"Beliau ingin mengatakan, keputusan politik besar yang dilakukan, termasuk reshuffle saat ini adalah output atau bukti solidnya koalisi ini, karena sudah disepakati oleh semua ketua umum partai politik, bahkan menambah satu ketum parpol (Zulkifli Hasan)," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.