Salin Artikel

"Reshuffle" Kedelapan Kabinet Jokowi, Pertunjukan Politik dan Pesan Soliditas Kabinet

Masuknya beberapa nama membuat komposisi kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin saat ini diisi oleh 24 politikus dari partai politik.

Jumlah ini hampir separuh dari total kursi menteri dan wakil menteri yang mencapai 50 posisi.

Di samping itu, jumlah ini bertambah sangat signifikan (41 persen) ketimbang saat Jokowi mengawali periode kedua kepemimpinannya pada 2019 lalu yakni 17 politikus di kabinet.

Dalam reshuffle teranyar, 4 dari 5 nama baru dalam Kabinet Indonesia Maju adalah politikus.

Mereka adalah Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN yang jadi Menteri Perdagangan; politikus PDI-P Wempi Wetipo sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri; Sekjen PSI Raja Juli sebagai Wakil Menteri ATR/BPN; dan Sekjen PBB Afriansyah Noor di kursi Wakil Menteri Ketenagakerjaan.

Satu-satunya menteri yang bisa dianggap bukan politik khusus adalah Menteri ATR/BPN yang baru, yakni eks Panglima TNI Hadi Tjahjanto.

Politik akomodasi

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai bahwa komposisi baru ini tidak terlepas dari upaya Jokowi menjaga atau bahkan meningkatkan stabilitas politik menyongsong 2024.

Pada tahun tersebut, eks Wali Kota Solo itu akan mengakhiri periode kepemimpinan sekaligus diprediksi bakal turut andil dalam kontestasi politik ke depan.

Mengurangi jatah partai politik, apalagi memecat ketua umum partai yang sudah duduk di kursi menteri, dianggap bakal menimbulkan manuver politik yang kontraproduktif.

"Ini bukan hanya soal kinerja. Bisa dibayangkan ketum partai jadi pembantu presiden dipecat, itu artinya (ditafsirkan) kinerjanya tidak becus," ujar Adi kepada Kompas TV, Rabu siang.

Ambil contoh, PAN yang akhirnya memperoleh jatah kursi setelah sekitar setahun menyatakan dukungan terhadap Jokowi-Ma'ruf Amin.

Hal yang unik ialah masuknya dua sekretaris jenderal partai ke dalam kabinet meskipun partai tersebut bukan pendukung pemerintah di parlemen.

Keduanya yakni Raja Juli dari PSI dan Afriansyah Noor dari PBB.

Adi menilai bahwa nuansa politik akomodasi sangat kental terasa dalam pengocokan ulang kursi menteri kali ini.

"Alasan merangkul itu segala-galanya kalau dilihat kecenderungan saat ini. Pertanyaannya kan, saya kira, begitu banyak orang yang mengerti soal perdagangan, pertanahan, tapi kenapa hanya itu orang yang dipilih Presiden?" ungkap Adi.

"Kalau bicara kepentingan kinerja harusnya banyak menteri yang di-reshuffle," kata Adi.

Padahal, beberapa menteri Jokowi saat ini juga ditengarai terlibat dalam upaya pencalonan dirinya pada 2024 mendatang, tak terkecuali para menteri yang merupakan ketua umum partai seperti Prabowo Subianto atau Airlangga Hartarto.

"Kan banyak menteri yang melakukan kerja-kerja politik untuk tahun 2024 dan dia sedikit abai terhadap posisinya sebagai pembantu presiden. Itu kan layak di-reshuffle," ujar dia.

Semiotika Istana masih solid

Senada, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya juga menilai bahwa pergantian sejumlah menteri yang dilakukan Jokowi mengarah pada upaya-upaya politik, bukan kinerja.

"Ini pertunjukan politik, bukan reshuffle. Sangat minor jumlahnya," kata Yunarto kepada Kompas TV, Rabu.

"Tidak ada nama yang bisa dianggap secara teknokratis sesuai dengan latar belakang kementerian yang dipimpin, termasuk di kursi wakil menteri," kata dia.

Ia melihat terdapat pesan dalam "reshuffle" Jokowi kemarin soal stabilitas politik yang coba dibangun.

Jokowi dinilai ingin menyampaikan bahwa jajarannya bukan "bebek lumpuh" pada sisa dua tahun kepemimpinannya, sebuah istilah yang kerap disematkan pada rezim yang akan pensiun dalam waktu dekat.

Sebab, ada anggapan bahwa jelang 2024, masing-masing menteri seakan tengah membentuk kubu politiknya masing-masing, sehingga timbul persepsi soal koalisi di dalam koalisi.

Sebelum mengumumkan nama-nama baru di kabinet pun, Jokowi membiarkan prosesi makan siang antara dia dengan sejumlah ketua umum partai yang diundang ke Istana dipublikasi.

Yunarto menganggap, semiotika semacam ini merupakan gaya kepemimpinan sekaligus komunikasi politik yang sangat khas Jokowi.

"Menurut saya, ini ciri khas Pak Jokowi memimpin. Stabilitas politik ditunjukkan terlebih dulu di hadapan publik baru mereka bekerja," ujar Yunarto.

Politik akomodasi semacam ini sama sekali bukan hal baru mengingat Jokowi, pada 2019 silam, mengejutkan banyak pihak dengan merangkul eks rivalnya di Pilpres yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masuk ke kabinet, diawali dengan drama pertemuan di stasiun MRT Jakarta.

"Itu menunjukkan juga rekonsiliasi sebagai landasan dan modal dia bekerja. Ini juga yang sedang ditunjukkan, menurut saya, hari ini," ujar Yunarto.

"Beliau ingin mengatakan, keputusan politik besar yang dilakukan, termasuk reshuffle saat ini adalah output atau bukti solidnya koalisi ini, karena sudah disepakati oleh semua ketua umum partai politik, bahkan menambah satu ketum parpol (Zulkifli Hasan)," kata dia.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/16/05430011/reshuffle-kedelapan-kabinet-jokowi-pertunjukan-politik-dan-pesan-soliditas

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke