Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Perlindungan Anak dan Inpres yang Terlupakan

Kompas.com - 17/02/2022, 14:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lewat Inpres GN AKSA, semua orang bisa membaca bagaimana negara sesungguhnya telah jauh-jauh hari berupaya hadir lebih dalam lagi dalam menyikapi kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak.

Disayangkan bahwa tujuh tahun sejak Inpres GN AKSA diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kini tidak ada satu pun pejabat kementerian dan lembaga yang menyebut-nyebut dokumen ini saat merespons situasi kontemporer yang tidak ada bedanya dengan tahun 2014.

Semua kalangan patut punya pemahaman yang sama bahwa Inpres tidak tergantung pada siapa presidennya. Masa SBY memang sudah berlalu.

Tapi selama Inpres tersebut belum dibatalkan atau diganti dengan Inpres baru, maka Inpres yang merupakan produk Presiden SBY tersebut sesungguhnya masih berlaku hingga kini.

Dan senyampang SBY telah membangun cetak biru yang sudah sangat memadai terkait penanganan kejahatan seksual terhadap anak, maka ego sektoral harus dikesampingkan demi termanfaatkannya cetak biru itu hingga ada versi barunya yang lebih komprehensif lagi (jika ada).

Dengan kembali mengaktifkan Inpres GN AKSA sebagai acuan penanggulangan kejahatan seksual yang dipandang kembali marak belakangan ini, maka Presiden akan secara berkala menerima laporan dari seluruh kementerian dan lembaga terkait tentang segala bentuk program yang dilangsungkan guna melindungi anak-anak Indonesia secara lebih baik lagi, utamanya dari sisi hulu.

Pada sisi hulu itulah, menurut saya, negara selama ini seperti masih tertatih-tatih untuk menemukan sekaligus menyinergikan langkah yang lebih jitu lagi.

Situasi tersebut berbeda dengan sisi pascakejadian, di mana negara telah hadir dengan memadai lewat berbagai macam ketentuan.

UU Perlindungan Anak, misalnya, telah memuat apa yang dikenakan pada pelaku. Begitu pula, UU yang sama telah mengatur bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi korban.

Manakala pasal-pasal kepidanaan dalam UU Perlindungan Anak terus-menerus diperkuat, Inpres GN AKSA berpotensi menyempurnakan kehadiran negara dengan penekanan di titik hulu, yakni pre-emptif dan preventif.

Toh sudah menjadi keinsafan bersama, setajam apa pun negara memperkokoh tembok perlindungan di sisi hilir, peristiwa demi peristiwa viktimisasi terhadap anak tidak akan pernah bisa ditekan apalagi dihentikan jika sisi hulu tetap dibiarkan majal.

Spefisik jika pembahasan menyoroti sisi hilir (penegakan hukum), Inpres GN AKSA memuat satu butir yang sangat penting bagi Jaksa Agung.

Bunyinya, pihak Kejaksaan melakukan tuntutan pidana seberat mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak sesuai fakta hukum yang ditemukan dalam rangka memberikan efek jera.

Karena titah sedemikian rupa datang langsung dari Presiden, maka dapat dipahami bahwa pascadilakukannya penuntutan, Presiden tidak akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan itu.

Dengan kata lain, agar kerja kejaksaan tidak menjadi sia-sia, Presiden tidak seharusnya memberikan grasi kepada para pelaku.

Cukup sekali Presiden—dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak tereskpos ke publik—memberikan grasi kepada terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

Sebagai gantinya, kita nantikan akankah Kejaksaan Agung menuntut terdakwa dengan tuntutan maksimal berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup sesuai UU 17/2016.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com