Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Perlindungan Anak dan Inpres yang Terlupakan

Kompas.com - 17/02/2022, 14:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LUGAS betul perkataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyikapi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang guru di satu sekolah di wilayah Bandung.

Saya berharap, aparat penegak hukum tidak menanggapi perintah Jokowi itu sebatas pada guru dan para murid perempuan di sekolah tersebut.

Perintah Jokowi seharusnya dipahami dan ditindaklanjuti sebagai komando tegas dari seorang presiden untuk penanganan seluruh kasus serupa.

Betapa pun demikian, saya menilai sesungguhnya tidak mudah menyimpulkan arah perlindungan anak di Tanah Air terutama dari kejahatan seksual.

Dari sisi perkataan, sebagaimana menjadi pembuka tulisan ini, Jokowi memang menunjukkan ketegasannya.

Ketegasan itu patut dihargai, kendati sesungguhnya tanpa ada perintah sekali pun Undang-Undang 35/2014 Tentang Perlindungan Anak telah memuat ketentuan normatif bahwa pemberatan sanksi dikenakan kepada pelaku yang antara lain juga berprofesi sebagai guru.

Dulu, juga di Istana, Jokowi menyebut kejahatan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.

Terlepas bahwa kategori kejahatan luar biasa, Jokowi tidak ditetapkan dengan parameter yang definitif, namun hal itu pun tetap pantas dihargai.

Pada sisi lain, publik masih ingat bagaimana Presiden Jokowi beberapa bulan lalu justru memberikan grasi kepada seorang narapidana kejahatan seksual terhadap anak.

Si narapidana dulunya adalah guru, dan para korbannya tak lain adalah murid-muridnya sendiri.

Kebijakan pemberian grasi oleh Presiden Jokowi tersebut, tak dapat dielakkan, menyediakan alasan bagi publik untuk mempertanyakan konsistensi sikap Presiden dalam isu ini.

Kritisi kedua, agar ‘guru bejat, hukum berat’ tidak terkesan sebagai respons hit and run semata, yang terlalu rendah untuk disampaikan oleh pejabat negara selevel Presiden.

Presiden Jokowi semestinya menitahkan seluruh lembaga terkait agar mengarusutamakan perlindungan anak dalam setiap program kerja mereka.

Untuk itu, Presiden dan semua pemangku kepentingan harus sesegera mungkin membuka kembali dokumen yang keluar dari Istana dan memiliki bobot luar biasa tentang bagaimana orang nomor satu di republik ini memacu jajarannya dan para kepala daerah dalam menyikapi kejadian-kejadian kejahatan seksual terhadap anak.

Dokumen itu adalah Instruksi Presiden 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (Inpres GN AKSA).

Lewat Inpres GN AKSA, semua orang bisa membaca bagaimana negara sesungguhnya telah jauh-jauh hari berupaya hadir lebih dalam lagi dalam menyikapi kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak.

Disayangkan bahwa tujuh tahun sejak Inpres GN AKSA diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kini tidak ada satu pun pejabat kementerian dan lembaga yang menyebut-nyebut dokumen ini saat merespons situasi kontemporer yang tidak ada bedanya dengan tahun 2014.

Semua kalangan patut punya pemahaman yang sama bahwa Inpres tidak tergantung pada siapa presidennya. Masa SBY memang sudah berlalu.

Tapi selama Inpres tersebut belum dibatalkan atau diganti dengan Inpres baru, maka Inpres yang merupakan produk Presiden SBY tersebut sesungguhnya masih berlaku hingga kini.

Dan senyampang SBY telah membangun cetak biru yang sudah sangat memadai terkait penanganan kejahatan seksual terhadap anak, maka ego sektoral harus dikesampingkan demi termanfaatkannya cetak biru itu hingga ada versi barunya yang lebih komprehensif lagi (jika ada).

Dengan kembali mengaktifkan Inpres GN AKSA sebagai acuan penanggulangan kejahatan seksual yang dipandang kembali marak belakangan ini, maka Presiden akan secara berkala menerima laporan dari seluruh kementerian dan lembaga terkait tentang segala bentuk program yang dilangsungkan guna melindungi anak-anak Indonesia secara lebih baik lagi, utamanya dari sisi hulu.

Pada sisi hulu itulah, menurut saya, negara selama ini seperti masih tertatih-tatih untuk menemukan sekaligus menyinergikan langkah yang lebih jitu lagi.

Situasi tersebut berbeda dengan sisi pascakejadian, di mana negara telah hadir dengan memadai lewat berbagai macam ketentuan.

UU Perlindungan Anak, misalnya, telah memuat apa yang dikenakan pada pelaku. Begitu pula, UU yang sama telah mengatur bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi korban.

Manakala pasal-pasal kepidanaan dalam UU Perlindungan Anak terus-menerus diperkuat, Inpres GN AKSA berpotensi menyempurnakan kehadiran negara dengan penekanan di titik hulu, yakni pre-emptif dan preventif.

Toh sudah menjadi keinsafan bersama, setajam apa pun negara memperkokoh tembok perlindungan di sisi hilir, peristiwa demi peristiwa viktimisasi terhadap anak tidak akan pernah bisa ditekan apalagi dihentikan jika sisi hulu tetap dibiarkan majal.

Spefisik jika pembahasan menyoroti sisi hilir (penegakan hukum), Inpres GN AKSA memuat satu butir yang sangat penting bagi Jaksa Agung.

Bunyinya, pihak Kejaksaan melakukan tuntutan pidana seberat mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak sesuai fakta hukum yang ditemukan dalam rangka memberikan efek jera.

Karena titah sedemikian rupa datang langsung dari Presiden, maka dapat dipahami bahwa pascadilakukannya penuntutan, Presiden tidak akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan itu.

Dengan kata lain, agar kerja kejaksaan tidak menjadi sia-sia, Presiden tidak seharusnya memberikan grasi kepada para pelaku.

Cukup sekali Presiden—dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak tereskpos ke publik—memberikan grasi kepada terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

Sebagai gantinya, kita nantikan akankah Kejaksaan Agung menuntut terdakwa dengan tuntutan maksimal berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup sesuai UU 17/2016.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com