Sanksi AS jadi ganjalan Indonesia
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menduga terdapat faktor yang membuat Indonesia akhirnya dengan "berat hati" melupakan rencana pembelian Su-35.
Menurutnya, salah satu yang membuat rencana tersebut ditinggalkan karena faktor instrumen hukum Amerika Serikat, yakni Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA).
Hal inilah yang kemudian diyakini menjadi pertimbangan tersendiri bagi Indonesia untuk melupakan Su-35 dan lebih memilih Rafale dan F-15EX.
Baca juga: Jet Tempur Siluman Su-75 “Checkmate” Jadi Bintang dalam Dubai Airshow
"Saya kira potensi ancaman sanksi (CAATSA) memang harus dipertimbangkan. Namun, faktor biaya operasional dan negosiasi yang tak kunjung menunjukkan kemajuan signifikan menurut saya adalah pertimbangan utama," ujar Fahmi kepada Kompas.com, Kamis (23/12/2021).
Fahmi mengatakan, gagalnya rencana pembelian Su-35 bukan juga karena faktor minimnya pengalaman Indonesia dalam mengoperasikan Sukhoi.
Tercatat, hingga kini Indonesia telah mengoperasikan dua jenis Sukhoi, yakni Su-27 dan Su-30.
Hanya saja, pemeliharaan dan perawatan kedua jet tempur ini dinilai memakan biaya tinggi.
Baca juga: Pembelian Jet Tempur Mengerucut ke Rafale dan F-15 EX, KSAU: Belum Diputuskan
"Selama ini, pemeliharaan dan perawatannya memang bisa dibilang berbiaya tinggi. Untuk MRO, kita bahkan harus bekerjasama dengan negara ketiga yaitu Belarus," terang Fahmi.
Meski demikian, Fahmi menyebut bahwa opsi Rafale dan F-15EX merupakan pilihan paling masuk akal guna menguatkan posisi Indonesia di kawasan Indo-Pasifik, termasuk mempertebal kekuatan pertahanan udara Tanah Air.
"Opsi Rafale dan F-15EX adalah pilihan masuk akal bagi Indonesia jika melihat dinamika kawasan," kata Fahmi.