Upaya pembelian dua jet tempur tersebut sesuai dengan perencanaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
Pada saat Rapat Pimpinan TNI AU 2021, awal Februari, diketahui Indonesia akan mengakuisisi 36 unit Rafale dan 8 unit F-15EX.
"Ini sudah mengerucut tetapi memang belum diputuskan. Tetapi pilihan dua, mengercut. Pertama adalah kita dapat Rafale, kedua adalah F-15 EX," ujar Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (22/12/2021).
Di sisi lain, dengan terpilihnya Rafale dan F-15EX, Indonesia dengan "berat hati" akhirnya meninggalkan rencana pembelian Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
"Mengenai Sukhoi 35 dengan berat hati ya kita harus sudah meninggalkan perencanaan itu," katanya.
Fadjar mengungkapkan, alasan Indonesia melupakan rencana pembelian Su-35 karena berkaitan dengan anggaran.
"Karena kan kembali lagi dari awal kita sebutkan bahwa pembangunan kekuatan udara sangat bergantung dari anggaran, kalau yang bayar tidak mau ke sana, kita kan enggak bisa nyebut-nyebut terus, jadi arahnya ke Rafale," kata mantan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II (Pangkogabwilhan II) itu.
Sanksi AS jadi ganjalan Indonesia
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menduga terdapat faktor yang membuat Indonesia akhirnya dengan "berat hati" melupakan rencana pembelian Su-35.
Menurutnya, salah satu yang membuat rencana tersebut ditinggalkan karena faktor instrumen hukum Amerika Serikat, yakni Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA).
Hal inilah yang kemudian diyakini menjadi pertimbangan tersendiri bagi Indonesia untuk melupakan Su-35 dan lebih memilih Rafale dan F-15EX.
"Saya kira potensi ancaman sanksi (CAATSA) memang harus dipertimbangkan. Namun, faktor biaya operasional dan negosiasi yang tak kunjung menunjukkan kemajuan signifikan menurut saya adalah pertimbangan utama," ujar Fahmi kepada Kompas.com, Kamis (23/12/2021).
Fahmi mengatakan, gagalnya rencana pembelian Su-35 bukan juga karena faktor minimnya pengalaman Indonesia dalam mengoperasikan Sukhoi.
Tercatat, hingga kini Indonesia telah mengoperasikan dua jenis Sukhoi, yakni Su-27 dan Su-30.
Hanya saja, pemeliharaan dan perawatan kedua jet tempur ini dinilai memakan biaya tinggi.
"Selama ini, pemeliharaan dan perawatannya memang bisa dibilang berbiaya tinggi. Untuk MRO, kita bahkan harus bekerjasama dengan negara ketiga yaitu Belarus," terang Fahmi.
Meski demikian, Fahmi menyebut bahwa opsi Rafale dan F-15EX merupakan pilihan paling masuk akal guna menguatkan posisi Indonesia di kawasan Indo-Pasifik, termasuk mempertebal kekuatan pertahanan udara Tanah Air.
"Opsi Rafale dan F-15EX adalah pilihan masuk akal bagi Indonesia jika melihat dinamika kawasan," kata Fahmi.
Transfer teknologi wajib disertai
Fahmi menilai, yang perlu digarisbawahi dalam upaya akuisisi ini adalah mengenai pentingnya transfer teknologi.
Menurut Fahmi, dalam kesepakatan pembelian jet tempur ini wajib memperhatikan berapa pentingnya transfer teknologi disertai.
"Apa pun yang kita pilih tetap harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek investasi, transfer teknologi dan dampaknya bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri," terang Fahmi.
Ia mengatakan bahwa transfer teknologi sangat penting dan krusial. Hal ini juga sebagaimana amanah Undang-Undang Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
"Transfer teknologi di dalamnya, adalah amanat UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Juga merupakan salah satu cara mewujudkan visi Presiden dalam rangka mengubah belanja sektor pertahanan menjadi investasi," kata Fahmi.
https://nasional.kompas.com/read/2021/12/24/09045791/teka-teki-alasan-indonesia-pilih-jet-tempur-rafale-dan-f-15ex-ketimbang-su