"Pembentuk Undang-Undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa subtansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: Ini Pertimbangan MK Putuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Ia mengatakan, banyak pemohon yang mengajukan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Namun, karena MK belum melakukan pengujian materiil, dengan adanya putusan ini pembentuk UU diharapkan dapat melakukan kajian ulang.
Kajian itu dilakukan terhadap pasal-pasal yang memang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat dalam batas waktu dua tahun.
Apabila dalam kurun waktu yang telah ditentukan perbaikan tidak dapat dilakukan maka UU tersebut akan dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Oleh karena itu, MK meminta agar dibentuk landasan hukum yang baku untuk digunakan sebagai pedoman perbaikan UU tersebut.
"Guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011," ujar dia.
"Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945," ucap dia.
Dissenting opinion
Meski demikian, empat Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan uji formil UU Cipta Kerja.
Baca juga: Putusan MK Nyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat Dinilai Jadi Jalan Tengah
Empat hakim itu yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Dalam pendapatnya, Arief dan Anwar menilai praktik omnibus law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem common law.
Metode tersebut, kata Arief, dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan.
"Pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum," kata Arief dalam sidang yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).
Arief menyampaikan, dalam konteks hukum progresif, metode pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law tidak mempermasalahkan nilai baik atau pun buruk karena ia adalah suatu metode yang bebas nilai.