Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Demokrasi Disandera Oligarki

Kompas.com - 20/11/2021, 14:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK keajaiban tragis di struktur relasi parlemen dan eksekutif yang diduga akibat limbah oligarki.

Bagaimana publik dikejutkan oleh proses “ekspress” pembentukan Undang-Undang (Omnibus) Cipta Kerja. Hanya butuh waktu sekitar enam bulan saja, tuntas mengubah puluhan undang-undang yang sensitif itu. Tanpa ada perdebatan publik berarti.

Belum lagi rencana pemindahan ibu kota sepi dari tanggapan parlemen yang konon mendaku wakil rakyat.

Demikian pula ketangkasan parlemen merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam tempo singkat ditengah hujan kritik di ruang publik semakin memprihatinkan banyak pihak.

Suasana muram di atas mengetuk nurani publik. Ada apa dengan demokrasi kita? Apakah demokrasi sudah menjadi oligarki? Atau demokrasi “nikah siri” dengan oligarki?

Padahal, harusnya demokrasi dan oligarki saling berhadapan. Sebab beda tujuan, karakter dan filosofi.

Tulisan ini hendak melacak soal eksistensi oligarki dalam konteks demokrasi, implikasi pada penegakan hukum, dan menggagas inisiasi perbaikan demokrasi.

Hakikat oligarki

Di dalam ilmu negara, banyak konsep soal oligarki. Namun yang paling populer, diantaranya adalah gagasan filsuf Plato, oligarki adalah bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, tertransformasi jadi dipimpin oleh segolongan kecil (oligos artinya kecil atau sedikit) yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri.

Sementara, kalau filsuf Polybios melihat, oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite (oligarki) untuk memperbaiki kondisi kesewenangan aristokrasi.

Celakanya, oligarki jatuh pada kutukan serupa. Ia pun sewenang wenang, memperkosa hukum dan menimbulkan perlawanan dari warganya maka lahir demokrasi. (Sjahran Basah, Ilmu Negara, 2011).

Yang menarik, dalam sejarah ke-Indonesia-an, perkembangan oligarki tidak sesimpel di atas. Pertama, Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarki (2011), mendeteksi oligarki Indonesia membesar di masa Presiden Soeharto.

Oligarkinya disebut oligarki sultanistik. Ciri oligarki sultanistik, menurut Jeffrey, ketika ada monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligark, bukan di tangan negara yang terlembaga dan dibatasi hukum.

Terdapat pula relasi patron-klien. Para oligark menempel pada oligark penguasa dengan menginvestasikan sumber daya material mereka sebagai upeti agar kekayaannya tak dirampas.

Sejarahnya cukup panjang, bermula dari rezim Orde Baru (Orba) yang kebijakannya memprioritaskan stabilitas politik dan ekonomi.

Maka untuk tujuan itu, rezim Orba mengendalikan para pebisnis oligark agar merapat ke kekuasaan. Imbalannya, semua konsesi bisnis diberikan negara sepanjang tunduk pada Soeharto sebagai representasi rezim Orba.

Oligarki sultanistik Orba akhirnya runtuh dengan reformasi 1998, yang salah satu penyebab internalnya adalah mulai terlibatnya putra-putri Soeharto dalam bisnis yang tidak sehat.

Akibatnya, ini dinilai mengancam kepentingan para oligark lainnya, yang telah lebih dahulu menikmati akses bisnis dari Soeharto selama ini.

Kondisi seperti itu memperburuk legitimasi Soeharto hingga akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden.

Kedua, pasca-reformasi, oligarki tidak musnah. Dia terdesentralisasi ke berbagai aktor. Bahkan bersalin rupa strategi.

Di masa Soeharto, para oligark menempel kepada negara yang dalam analisis Marxis dinilai sebagai komite atau panitia yang bekerja untuk menyelenggarakan kepentingan borjuis.

Sementara, di era reformasi, berdasarkan analisis Robertus Robert, para oligark tidak lagi memanfaatkan perantara negara untuk mencapai tujuannya. Mereka masuk ke dalam negara.

Istilahnya, oligarki memperluas karakter kapital ke dalam politik dan negara. Ia menginvasi dunia politik, menaklukannya, dan mengkloning dunia politik menjadi dunia bisnis.

Dengan bahasa jenih, Robertus Robert menulis, para oligark tidak hanya bermain di belakang para politisi dan elite rezim demokratis melainkan secara langsung memimpin partai, membentuk koalisi pemerintahan, memobilisasi opini publik melalui bisnis media mereka dan menentukan jabatan-jabatan publik baik di pusat maupun lokal.

Di tangan mereka, negara sudah seperti cabang bisnis bagi elite kekuasaan untuk kepentingan bisnis mereka (Abdil Mughis Mudhofir dkk, Oligarki: Teori dan Kritik, 2020:181-182).

Bisa jadi, pola oligarki ini pula yang menggejala pada isu soal bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR) yang belum lama ini diramaikan di ruang publik.

Kebetulan pejabat publik pengambil kebijakan di bisnis PCR diduga memiliki konflik kepentingan dengan korporasi pebisnis PCR itu sendiri.

Tentu dari sisi hukum, biarlah para penegak hukum memverifikasi dan memvalidasi yang akan dibuktikan di pengadilan, apakah bisnis PCR yang diributkan memiliki unsur pelanggaran hukum, baik korupsi ataupun konflik kepentingan secara hukum.

Namun publik wajib mencermati prosesnya sebagai konsekuensi demokrasi.

Apa implikasinya oligarki bagi demokrasi? Jelas, dampaknya, kepentingan demos atau rakyat secara umum terancam.

Karena, kebijakan publik bisa jadi diinvasi menjadi sekadar kebijakan yang menguntungkan pebisnis, elite, dan privat.

Susahnya, agak sukar mengidentifikasi korban oligarki. Sebab yang diterjang adalah demos sebagai kesatuan politik daulat rakyat. Bukan terfragmentasi seperti model polarisasi buruh dan pengusaha misalnya.

Selain itu, dari sisi penegakan hukum, tidak sedikit pelaku korupsi diduga terafirmasi dalam jejaring oligarki.

Sebab, tidak sedikit oknum pejabat publik yang tersandung kasus korupsi memiliki latar belakang pebisnis.

Maka, penyalahgunaan kekuasaan di dalam konteks ini seringkali dalam rangka pembesaran akses bisnisnya untuk menutupi mahalnya biaya politik yang seperti sudah menjadi keniscayaan.

Perbaikan

Tidak mudah keluar dari jeratan oligarki. Robertus Robert menawarkan penguatan demos melalui populisme. Namun, ia pun mewanti-wanti agar populisme tidak tergelincir pada isu mayoritarian sehingga menggusur esensi perjuangan demokrasi.

Apalagi jika populisme dirangkai dengan isu agama, itu akan semakin mengubur kemungkinan lolos dari oligarki.

Malah bukan mustahil, populisme berbau agama justru dimanfaatkan oleh oligark lain yang sakit hati karena tidak kebagian akses bisnis dari negara. Ujungnya sekadar transaksional.

Bagi penulis, tidak ada jalan lain untuk keluar dari oligarki selain melakukan koreksi mendasar atas sistem demokrasi.

Tidak dapat dinafikan, selama ini demokrasi pasca-reformasi cenderung terlalu berlebihan melembagakan demokrasi prosedural.

Demokrasi yang lekas puas diri apabila pemilu sudah diselenggarakan dan lembaga demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi dan parlemen terbentuk.

Menurut penulis, demokrasi harus didesak ke arah substansial di mana kesadaran kritis warga harus dibangun. Dengan daya kritis ini warga mampu memberdayakan dirinya untuk tidak mudah tergiur praktik-praktik pengkhianatan demokrasi, semisal politik uang.

Demikian pula perlu dipikirkan agar biaya politik dapat ditekan. Sistem kepartaian disederhanakan. Negara menanggung biaya kepartaian.

Dengan begitu, para kader partai tidak perlu lagi memikirkan dana untuk disisihkan pada partai. Termasuk segala tetek bengek terkait biaya pencalonan dirinya ketika hendak mengisi jabatan publik.

Kader partai cukup fokus mengkontestasikan gagasan, pemikiran, dan integritasnya untuk dapat diwakafkan di arena politik.

Dengan begitu, politik bisa kembali pada hakikat maknanya sebagai upaya mengelola negara untuk mencapaikan kebaikan bersama. Bukan kebaikan segelintir atau sebatas kerabat.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Nasional
PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

Nasional
Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Nasional
Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Nasional
Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Nasional
Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com