Salin Artikel

Demokrasi Disandera Oligarki

BANYAK keajaiban tragis di struktur relasi parlemen dan eksekutif yang diduga akibat limbah oligarki.

Bagaimana publik dikejutkan oleh proses “ekspress” pembentukan Undang-Undang (Omnibus) Cipta Kerja. Hanya butuh waktu sekitar enam bulan saja, tuntas mengubah puluhan undang-undang yang sensitif itu. Tanpa ada perdebatan publik berarti.

Belum lagi rencana pemindahan ibu kota sepi dari tanggapan parlemen yang konon mendaku wakil rakyat.

Demikian pula ketangkasan parlemen merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam tempo singkat ditengah hujan kritik di ruang publik semakin memprihatinkan banyak pihak.

Suasana muram di atas mengetuk nurani publik. Ada apa dengan demokrasi kita? Apakah demokrasi sudah menjadi oligarki? Atau demokrasi “nikah siri” dengan oligarki?

Padahal, harusnya demokrasi dan oligarki saling berhadapan. Sebab beda tujuan, karakter dan filosofi.

Tulisan ini hendak melacak soal eksistensi oligarki dalam konteks demokrasi, implikasi pada penegakan hukum, dan menggagas inisiasi perbaikan demokrasi.

Hakikat oligarki

Di dalam ilmu negara, banyak konsep soal oligarki. Namun yang paling populer, diantaranya adalah gagasan filsuf Plato, oligarki adalah bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, tertransformasi jadi dipimpin oleh segolongan kecil (oligos artinya kecil atau sedikit) yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri.

Sementara, kalau filsuf Polybios melihat, oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite (oligarki) untuk memperbaiki kondisi kesewenangan aristokrasi.

Celakanya, oligarki jatuh pada kutukan serupa. Ia pun sewenang wenang, memperkosa hukum dan menimbulkan perlawanan dari warganya maka lahir demokrasi. (Sjahran Basah, Ilmu Negara, 2011).

Yang menarik, dalam sejarah ke-Indonesia-an, perkembangan oligarki tidak sesimpel di atas. Pertama, Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarki (2011), mendeteksi oligarki Indonesia membesar di masa Presiden Soeharto.

Oligarkinya disebut oligarki sultanistik. Ciri oligarki sultanistik, menurut Jeffrey, ketika ada monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligark, bukan di tangan negara yang terlembaga dan dibatasi hukum.

Terdapat pula relasi patron-klien. Para oligark menempel pada oligark penguasa dengan menginvestasikan sumber daya material mereka sebagai upeti agar kekayaannya tak dirampas.

Sejarahnya cukup panjang, bermula dari rezim Orde Baru (Orba) yang kebijakannya memprioritaskan stabilitas politik dan ekonomi.

Maka untuk tujuan itu, rezim Orba mengendalikan para pebisnis oligark agar merapat ke kekuasaan. Imbalannya, semua konsesi bisnis diberikan negara sepanjang tunduk pada Soeharto sebagai representasi rezim Orba.

Oligarki sultanistik Orba akhirnya runtuh dengan reformasi 1998, yang salah satu penyebab internalnya adalah mulai terlibatnya putra-putri Soeharto dalam bisnis yang tidak sehat.

Akibatnya, ini dinilai mengancam kepentingan para oligark lainnya, yang telah lebih dahulu menikmati akses bisnis dari Soeharto selama ini.

Kondisi seperti itu memperburuk legitimasi Soeharto hingga akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden.

Kedua, pasca-reformasi, oligarki tidak musnah. Dia terdesentralisasi ke berbagai aktor. Bahkan bersalin rupa strategi.

Di masa Soeharto, para oligark menempel kepada negara yang dalam analisis Marxis dinilai sebagai komite atau panitia yang bekerja untuk menyelenggarakan kepentingan borjuis.

Sementara, di era reformasi, berdasarkan analisis Robertus Robert, para oligark tidak lagi memanfaatkan perantara negara untuk mencapai tujuannya. Mereka masuk ke dalam negara.

Istilahnya, oligarki memperluas karakter kapital ke dalam politik dan negara. Ia menginvasi dunia politik, menaklukannya, dan mengkloning dunia politik menjadi dunia bisnis.

Dengan bahasa jenih, Robertus Robert menulis, para oligark tidak hanya bermain di belakang para politisi dan elite rezim demokratis melainkan secara langsung memimpin partai, membentuk koalisi pemerintahan, memobilisasi opini publik melalui bisnis media mereka dan menentukan jabatan-jabatan publik baik di pusat maupun lokal.

Di tangan mereka, negara sudah seperti cabang bisnis bagi elite kekuasaan untuk kepentingan bisnis mereka (Abdil Mughis Mudhofir dkk, Oligarki: Teori dan Kritik, 2020:181-182).

Bisa jadi, pola oligarki ini pula yang menggejala pada isu soal bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR) yang belum lama ini diramaikan di ruang publik.

Kebetulan pejabat publik pengambil kebijakan di bisnis PCR diduga memiliki konflik kepentingan dengan korporasi pebisnis PCR itu sendiri.

Tentu dari sisi hukum, biarlah para penegak hukum memverifikasi dan memvalidasi yang akan dibuktikan di pengadilan, apakah bisnis PCR yang diributkan memiliki unsur pelanggaran hukum, baik korupsi ataupun konflik kepentingan secara hukum.

Namun publik wajib mencermati prosesnya sebagai konsekuensi demokrasi.

Apa implikasinya oligarki bagi demokrasi? Jelas, dampaknya, kepentingan demos atau rakyat secara umum terancam.

Karena, kebijakan publik bisa jadi diinvasi menjadi sekadar kebijakan yang menguntungkan pebisnis, elite, dan privat.

Susahnya, agak sukar mengidentifikasi korban oligarki. Sebab yang diterjang adalah demos sebagai kesatuan politik daulat rakyat. Bukan terfragmentasi seperti model polarisasi buruh dan pengusaha misalnya.

Selain itu, dari sisi penegakan hukum, tidak sedikit pelaku korupsi diduga terafirmasi dalam jejaring oligarki.

Sebab, tidak sedikit oknum pejabat publik yang tersandung kasus korupsi memiliki latar belakang pebisnis.

Maka, penyalahgunaan kekuasaan di dalam konteks ini seringkali dalam rangka pembesaran akses bisnisnya untuk menutupi mahalnya biaya politik yang seperti sudah menjadi keniscayaan.

Perbaikan

Tidak mudah keluar dari jeratan oligarki. Robertus Robert menawarkan penguatan demos melalui populisme. Namun, ia pun mewanti-wanti agar populisme tidak tergelincir pada isu mayoritarian sehingga menggusur esensi perjuangan demokrasi.

Apalagi jika populisme dirangkai dengan isu agama, itu akan semakin mengubur kemungkinan lolos dari oligarki.

Malah bukan mustahil, populisme berbau agama justru dimanfaatkan oleh oligark lain yang sakit hati karena tidak kebagian akses bisnis dari negara. Ujungnya sekadar transaksional.

Bagi penulis, tidak ada jalan lain untuk keluar dari oligarki selain melakukan koreksi mendasar atas sistem demokrasi.

Tidak dapat dinafikan, selama ini demokrasi pasca-reformasi cenderung terlalu berlebihan melembagakan demokrasi prosedural.

Demokrasi yang lekas puas diri apabila pemilu sudah diselenggarakan dan lembaga demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi dan parlemen terbentuk.

Menurut penulis, demokrasi harus didesak ke arah substansial di mana kesadaran kritis warga harus dibangun. Dengan daya kritis ini warga mampu memberdayakan dirinya untuk tidak mudah tergiur praktik-praktik pengkhianatan demokrasi, semisal politik uang.

Demikian pula perlu dipikirkan agar biaya politik dapat ditekan. Sistem kepartaian disederhanakan. Negara menanggung biaya kepartaian.

Dengan begitu, para kader partai tidak perlu lagi memikirkan dana untuk disisihkan pada partai. Termasuk segala tetek bengek terkait biaya pencalonan dirinya ketika hendak mengisi jabatan publik.

Kader partai cukup fokus mengkontestasikan gagasan, pemikiran, dan integritasnya untuk dapat diwakafkan di arena politik.

Dengan begitu, politik bisa kembali pada hakikat maknanya sebagai upaya mengelola negara untuk mencapaikan kebaikan bersama. Bukan kebaikan segelintir atau sebatas kerabat.

https://nasional.kompas.com/read/2021/11/20/14584581/demokrasi-disandera-oligarki

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke