Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaksa Agung Kaji Hukuman Mati Bagi Koruptor, Pakar Hukum: Jangan Hanya Gimmick!

Kompas.com - 29/10/2021, 11:39 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengingatkan agar isu hukuman mati bagi koruptor tak hanya sekedar sebagai gimmick atau pemanis semata.

Hal tersebut disampaikan Bivitri menyusul adanya rencana Jaksa Agung yang mulai mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati dalam penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi.

"Janganlah menjadikan isu hukuman mati untuk koruptor ini sekadar gimmick atau pemanis," kata Bivitri kepada Kompas.com, Jumat (28/10/2021).

Menurut dia, apabila aparat hukum peduli pada korpusi akan lebih baik jika mereka fokus pada penegakkan hukum acaranya. Dengan demikian, maka para pelaku korupsi itu pun dapat tertangani dengan maksimal dari berbagai sisi.

"Kalau memang peduli pada soal korupsi, lebih baik semua aparat penegak hukum berfokus pada penegakan hukum acaranya supaya semua koruptor bisa ditangani dengan maksimal, mempelajari soal pola penghukuman dan efek jera, serta pengawasan eksekusi hukuman," ujar dia.

Meskipun pihaknya mengapresiasi semangat untuk memberantas korupsi dengan pemberian hukuman mati tersebut, tetapi terdapat dua catatan yang harus diperhatikan.

Pertama, Bivitri menilai bahwa hukuman mati memiliki esensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

Baca juga: Jaksa Agung Kaji Kemungkinan Terapkan Hukuman Mati untuk Kasus Mega Korupsi

"Walaupun Indonesia masih mempunyai ancaman pidana mati, tetapi sebaiknya sudah tidak lagi digunakan. Banyak sekali potensi kesalahan dalam hukum acara maupun dalam penerapan hukum yang sudah tidak lagi bisa dikoreksi bila seorang terpidana dihukum mati," kata dia.

Padahal, ujar dia, sistem hukum pasti mengandung berbagai kelemahan. Apalagi pendekatan penghukuman saat ini dinilainya bukan pendekatan pembalasan, melainkan efek jera.

"Khusus tindak pidana korupsi (tipikor) juga soal pemulihan aset atau kekayaan negara," ujar Bivitri.

Kedua, dia menilai perlu melihat fakta yang ada sebelum memutuskan.

Sebab kenyataannya, kata dia, dalam penuntutan maupun pemberian hukuman, sanksi yang diberikan jauh panggang dari api.

"Jangankan hukuman mati, bukankah kejaksaan sendiri yang menuntut jaksanya sendiri yang melakukan tipikor, Pinangki, dengan tuntutan yang demikian rendah?" kata dia.

Selain itu, Bivitri menilai bahwa hakim juga saat ini lebih cenderung memberikan sanksi yang sangat sangat ringan pada koruptor.

Bahkan pembatasan remisi bagi koruptor pun dianggap menghalangi pengistimewaan koruptor.

"Biasanya memang orang-orang yang punya kekuasaan," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati dalam penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi.

Baca juga: Mantan Anggota DPRK dan 2 Terdakwa di Aceh Dituntut Hukuman Mati


Burhanuddin merujuk pada perkara-perkara korupsi besar yang ditangani Kejagung, seperti perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabari yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar.

"Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud. Tentu penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai HAM," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Kamis (28/10/2021).

Menurut Leonard, selain karena menimbulkan kerugian keuangan negara, Jaksa Agung mempertimbangkan dampak luas yang diakibatkan perkara korupsi.

Adapun kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asabri mencapai Rp 22,78 triliun.

Sementara itu, kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi PT Jiwasraya yaitu Rp 16,8 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com