Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Jangan “Misuh” karena Kita Bukan “Musuh”

Kompas.com - 21/08/2021, 10:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.” – Jalaluddin Rumi

KETIKA masa kanak-kanak dulu, walau hidup dalam segala keterbatasan karena ayah hanya berpangkat sersan di sebuah kesatuan militer di Malang, Jawa Timur, hidup terasa indah.

Kemiskinan harta tidak harus membuat miskin sopan santun. Itu petuah yang selalu ditekankan oleh eyang dan orang tua.

Saya dan kakak-kakak selalu dilatih untuk berhemat dan menghargai jerih payah sendiri. Ditekankan untuk menghargai setiap usaha dengan keringat sendiri tetapi tidak boleh berbuat curang atau menyakiti orang lain.

Setiap bertemu dengan orang yang usianya lebih tua, kita diminta untuk mengucap nuwun sewu.

Saat melewati nisan kuburan orang yang tidak kita kenal di pesarean pun, selalu diingatkan untuk mengucap assalamualaikum...nuwun sewu.

Ketika berbicara dengan setiap tamu yang lebih dewasa, kita dilarang membentak atau mengeluarkan suara bernada tinggi.

Demikian juga saat usai melakukan transaksi jual beli – walau kepada pedagang berbaju kumal dan lusuh – kita diminta untuk menyebut matursuwun.

Tidak boleh dalam setiap penggal peristiwa, kita mengeluarkan kata “misuh” atau memaki dan mengumpat. Semua ada tata kramanya dalam kehidupan.

Di sekolah pun, kami diajarkan sopan santun. Walau berasal dari keluarga muslim, orang tua saya menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Kristen agar kami belajar disiplin ketat.

Saban sore, kami selalu diingatkan untuk belajar mengaji di langgar kecil, milik kampung kami.

Suatu ketika, kami sekeluarga menangis kencang karena ada tentangga bermarga Maluku dan beragama Kristen akan kembali ke kampung halamannya di Ambon.

Kami tidak mengenal fanatisme. Kami tahunya mereka adalah saudara, tetangga kampung. Kami merasa berduka karena merasa akan kehilangan.

Kami memiliki fotografer kampung, Om Pho Yang. Dengan foto hitam putihnya yang ciamik hasilnya sehingga kami banggakan, kami menganggap paman bermarga Tionghoa ini adalah kerabat juga.

Saya kerap teringat setiap ibu mau memasak beras, selalu disisihkan beras sejumput dan disimpan di wadah penyimpanan tersendiri.

Saya baru mengerti, ternyata beras kumpulan dari hasil jumputan itu akan kami gunakan jika stok beras di tempat penyimpanan utama habis.

Atau ibu akan gunakan beras jumputan untuk membantu tetangga lain yang butuh beras untuk makan keluarganya.

Sopan santun, toleransi, adab kehidupan, keimanan, persaudaraan menjadi lekat dalam kehidupan kami dan mungkin kita semua pernah mengalami pengalaman masa kanak-kanak ini.

Belakangan ketika saya sudah menjadi mahasiswa, saya baru paham inilah yang dinamakan urip iku urup.

Hidup ibarat nyala cahaya, seperti nyala yang menghangatkan dari kedinginan dan nyala yang menerangi kegelapan.

Hidup yang mulia hendaknya adalah hidup yang dijalani dengan menebar darma dan kebaikan, tidak merusak, tidak merugikan, tidak menyengsarakan serta memberi manfaat kepada sesama.

Presiden RI ke-5 Megawati SoekarnoputriYouTube Sekretariat Presiden Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri

Megawati, Jokowi, dan kodok

Raut muka Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputeri begitu tercekat saat menceritakan kegundahannya soal Presiden Joko Widodo.

Putri Bung Karno itu mengaku tidak habis pikir kenapa masih ada orang yang mengatakan Jokowi itu kodok.

Keseriusan mantan walikota Solo itu dalam membenahi dan membangun tanah air dianggap Megawati tidak dihargai oleh sebagian pihak.

Pihak yang menyebut Jokowi dengan kodok dinilai ketua umum PDI Perjuangan itu sebagai pengecut (Kompas.com, 18 Agustus 2021).

Baca juga: Megawati: Saya Suka Nangis, Masih Ada yang Mengatakan Jokowi Kodoklah...

Harus diakui, segregasi berbangsa kita mengalami kemerosotan dratis sejak reformasi mencapai klimaksnya dengan penumbangan rezim Soeharto. Sumpah serapah, makian, umpatan menjadi kata-kata yang mudah terucap.

Keterkungkungan dan aneka pembatasan aturan yang diterapkan selama rezim Soeharto menjadi kredo lama di masa reformasi. Kita semua lepas kontrol, elite-elite memberi contoh, sistem pendidikan semakin longgar, media pun begitu mudah mengumbar ketidaksopanan.

Perbedaan dan pengotak-ngotakan itu semakin nyata dan menganga sejak pemilihan presiden 2014.

Harapan terjadinya rekonsiliasi dua kutub yang dominan, yang dianggap poros “cebong” dan poros “kadrun”, bisa usai setelah pemilihan presiden 2019 dengan direkrutnya kekuatan oposisi dalam pemerintahan koalisi Jokowi ternyata hanya mengurangi tensi politik belaka. Api kebencian masih terus berkobar. 

Siapa pun akan terluka dan terendahkan martabatnya jika dipadankan dengan sebutan binatang.

Tidak hanya Jokowi yang presiden, tetapi kita yang bekerja atau menganggur, mahasiswa atau pelajar, eksekutif atau ibu-ibu arisan, semua akan murka jika dibilang kodok-lah atau cebong-lah. Demikian juga dengan sebutan kadrun.

Ke mana ajaran budi pekerti kita dulu? Adakah yang salah dengan kita semua? Di mana nilai-nilai filosofis nenek moyang kita? Masihkah Pancasila kuat bertaji di negeri ini?

Kita melupakan pesan Sang Dalang dalam suatu pertunjukan wayang kulit yang digelar di larut malam ketika kita masih bocah dulu: kacang manut lanjaran.

Anak akan mengamati, meniru, serta mengikuti perilaku, sikap ataupun tingkah laku dari orang tuanya.

Orang tua yang baik tentu akan memberi contoh atau mengajarkan budi pekerti, adab, dan sopan santun yang luhur kepada anaknya.

 

Foto dokumentasi fotografer Presiden, Agus Suparto: Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi door to door di Madiun, Jawa Timur, Kamis (19/8/2021).  Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Foto dokumentasi fotografer Presiden, Agus Suparto: Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi door to door di Madiun, Jawa Timur, Kamis (19/8/2021).

Hargai pemimpin hargai karyanya

Setiap masa kepemimpinan nasional selalu menghadapi tantangan dan kendala yang berbeda-beda. Dari Bung Karno, kita belajar dan memaknai perjuangan dan persaudaran untuk mempertahankan kemerdekaan.

Dari Soeharto, kita memaknai kecukupan sandang pangan menjadi stabilitas kehidupan.

Dari BJ Habibie, kita belajar singkat mengenai kemajuan peradaban.

Dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kita semakin memaknai pluralitas sebagai perekat kebangsaan.

Begitu juga dari Megawati, kita meneguhkan kembali kebangsaan yang sempat hilang, dan dari Susilo Bambang Yudhoyono, kita mengisi pembangunan yang tertinggal.

Justru di penggal pertama kepemimpinan Jokowi, kita telah menikmati kemajuan pembangunan infrastruktur yang terus diuber.

Kita bangga menjadi orang Indonesia karena semua kalangan dirangkul untuk membangun negeri. Rasa ke-Indonesia-an kita semakin tebal.

Hanya saja, di penggal kedua periode kepemimpinan Jokowi, kita tengah diuji ketika wabah corona tiba.

Seperti pernyataan Megawati, tidak ada satu negara pun di dunia yang kebal dengan pandemi sekalipun itu negara adidaya Amerika Serikat.

Justru pernyataan ini menjadi pengingat, sudahkah kita menebalkan diri sebagai “saudara” dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Indonesia?

Ketika negara kita tengah tertimpa pandemi, bukan saat yang tepat untuk saling mengumbar kebencian atau permusuhan.

Musuh kita walau tidak terlihat tetapi jelas adanya: virus corona. Musuh itu harus kita hadapi, lawan, dan taklukkan. Kita tiba pada titik yang tidak bisa mundur lagi ke belakang. Point of no return.

Sejak Maret 2020 hingga sekarang, kita tengah bersedih karena wabah Covid begitu meruyak. Kita sempat mengalami semua rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien, para tenaga kesehatan kewalahan dan banyak yang wafat karena malah terpapar.

Penggali kubur terkulai lemas karena terlalu payah menggali lahat. Persediaan oksigen menjadi langka. Belasan ribu anak menjadi yatim piatu. Angka kematian sudah di atas 123 ribu jiwa.

Pemerintah kita begitu sibuk mencari vaksin, ditengah keterbatasan vaksin karena semua negara membutuhkannya.

Dengan jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang sangat luas dan kompleksitas perbedaan pandangan dan budaya menjadikan upaya penanganan pandemi tidak semudah membalikkan tangan.

Dengan target 208,26 juta orang yang harus divaksin untuk mencapai kekebalan kelompok bukanlah perkara gampang.

Belum lagi kelambatan laju perekonomian dan besarnya warga yang membutuhkan bantuan sosial juga butuh atensi penuh di tengah keterbatasan anggaran negara yang tersedia.

Jokowi memang harus dikasihani. Saya yakin di balik dukungan bahkan siap pasang badang untuk pihak-pihak yang melecehkan presiden, Megawati sebenarnya menitip pesan untuk Jokowi: sura sira jayaningrat, lebur dening pangastuti.

Segala sifat keras hati, picik, dan angkara akan kalah dengan keluhuran budi pekerti yang bijaksana, lembut hati, sabar, dan mulia.

Tetaplah Jokowi menjadi presiden kami hingga tuntas pengabdiannya pada 2024 nanti. Mohon maaf jika kami kerap mengkritikmu. Ini adalah bukti kami semua ingin menjadikan Indonesia tangguh dan tetap tumbuh.

Tetaplah menjadi presiden kami yang ambeg utomo, andhap asor. Selalu mengutamakan kerendahan hati.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Nasional
Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum 'Move On'

Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum "Move On"

Nasional
Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com