Salin Artikel

Jangan “Misuh” karena Kita Bukan “Musuh”

“Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.” – Jalaluddin Rumi

KETIKA masa kanak-kanak dulu, walau hidup dalam segala keterbatasan karena ayah hanya berpangkat sersan di sebuah kesatuan militer di Malang, Jawa Timur, hidup terasa indah.

Kemiskinan harta tidak harus membuat miskin sopan santun. Itu petuah yang selalu ditekankan oleh eyang dan orang tua.

Saya dan kakak-kakak selalu dilatih untuk berhemat dan menghargai jerih payah sendiri. Ditekankan untuk menghargai setiap usaha dengan keringat sendiri tetapi tidak boleh berbuat curang atau menyakiti orang lain.

Setiap bertemu dengan orang yang usianya lebih tua, kita diminta untuk mengucap nuwun sewu.

Saat melewati nisan kuburan orang yang tidak kita kenal di pesarean pun, selalu diingatkan untuk mengucap assalamualaikum...nuwun sewu.

Ketika berbicara dengan setiap tamu yang lebih dewasa, kita dilarang membentak atau mengeluarkan suara bernada tinggi.

Demikian juga saat usai melakukan transaksi jual beli – walau kepada pedagang berbaju kumal dan lusuh – kita diminta untuk menyebut matursuwun.

Tidak boleh dalam setiap penggal peristiwa, kita mengeluarkan kata “misuh” atau memaki dan mengumpat. Semua ada tata kramanya dalam kehidupan.

Di sekolah pun, kami diajarkan sopan santun. Walau berasal dari keluarga muslim, orang tua saya menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Kristen agar kami belajar disiplin ketat.

Saban sore, kami selalu diingatkan untuk belajar mengaji di langgar kecil, milik kampung kami.

Suatu ketika, kami sekeluarga menangis kencang karena ada tentangga bermarga Maluku dan beragama Kristen akan kembali ke kampung halamannya di Ambon.

Kami tidak mengenal fanatisme. Kami tahunya mereka adalah saudara, tetangga kampung. Kami merasa berduka karena merasa akan kehilangan.

Kami memiliki fotografer kampung, Om Pho Yang. Dengan foto hitam putihnya yang ciamik hasilnya sehingga kami banggakan, kami menganggap paman bermarga Tionghoa ini adalah kerabat juga.

Saya kerap teringat setiap ibu mau memasak beras, selalu disisihkan beras sejumput dan disimpan di wadah penyimpanan tersendiri.

Saya baru mengerti, ternyata beras kumpulan dari hasil jumputan itu akan kami gunakan jika stok beras di tempat penyimpanan utama habis.

Atau ibu akan gunakan beras jumputan untuk membantu tetangga lain yang butuh beras untuk makan keluarganya.

Sopan santun, toleransi, adab kehidupan, keimanan, persaudaraan menjadi lekat dalam kehidupan kami dan mungkin kita semua pernah mengalami pengalaman masa kanak-kanak ini.

Belakangan ketika saya sudah menjadi mahasiswa, saya baru paham inilah yang dinamakan urip iku urup.

Hidup ibarat nyala cahaya, seperti nyala yang menghangatkan dari kedinginan dan nyala yang menerangi kegelapan.

Hidup yang mulia hendaknya adalah hidup yang dijalani dengan menebar darma dan kebaikan, tidak merusak, tidak merugikan, tidak menyengsarakan serta memberi manfaat kepada sesama.

Megawati, Jokowi, dan kodok

Raut muka Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputeri begitu tercekat saat menceritakan kegundahannya soal Presiden Joko Widodo.

Putri Bung Karno itu mengaku tidak habis pikir kenapa masih ada orang yang mengatakan Jokowi itu kodok.

Keseriusan mantan walikota Solo itu dalam membenahi dan membangun tanah air dianggap Megawati tidak dihargai oleh sebagian pihak.

Pihak yang menyebut Jokowi dengan kodok dinilai ketua umum PDI Perjuangan itu sebagai pengecut (Kompas.com, 18 Agustus 2021).

Harus diakui, segregasi berbangsa kita mengalami kemerosotan dratis sejak reformasi mencapai klimaksnya dengan penumbangan rezim Soeharto. Sumpah serapah, makian, umpatan menjadi kata-kata yang mudah terucap.

Keterkungkungan dan aneka pembatasan aturan yang diterapkan selama rezim Soeharto menjadi kredo lama di masa reformasi. Kita semua lepas kontrol, elite-elite memberi contoh, sistem pendidikan semakin longgar, media pun begitu mudah mengumbar ketidaksopanan.

Perbedaan dan pengotak-ngotakan itu semakin nyata dan menganga sejak pemilihan presiden 2014.

Harapan terjadinya rekonsiliasi dua kutub yang dominan, yang dianggap poros “cebong” dan poros “kadrun”, bisa usai setelah pemilihan presiden 2019 dengan direkrutnya kekuatan oposisi dalam pemerintahan koalisi Jokowi ternyata hanya mengurangi tensi politik belaka. Api kebencian masih terus berkobar. 

Siapa pun akan terluka dan terendahkan martabatnya jika dipadankan dengan sebutan binatang.

Tidak hanya Jokowi yang presiden, tetapi kita yang bekerja atau menganggur, mahasiswa atau pelajar, eksekutif atau ibu-ibu arisan, semua akan murka jika dibilang kodok-lah atau cebong-lah. Demikian juga dengan sebutan kadrun.

Ke mana ajaran budi pekerti kita dulu? Adakah yang salah dengan kita semua? Di mana nilai-nilai filosofis nenek moyang kita? Masihkah Pancasila kuat bertaji di negeri ini?

Kita melupakan pesan Sang Dalang dalam suatu pertunjukan wayang kulit yang digelar di larut malam ketika kita masih bocah dulu: kacang manut lanjaran.

Anak akan mengamati, meniru, serta mengikuti perilaku, sikap ataupun tingkah laku dari orang tuanya.

Orang tua yang baik tentu akan memberi contoh atau mengajarkan budi pekerti, adab, dan sopan santun yang luhur kepada anaknya.

Hargai pemimpin hargai karyanya

Setiap masa kepemimpinan nasional selalu menghadapi tantangan dan kendala yang berbeda-beda. Dari Bung Karno, kita belajar dan memaknai perjuangan dan persaudaran untuk mempertahankan kemerdekaan.

Dari Soeharto, kita memaknai kecukupan sandang pangan menjadi stabilitas kehidupan.

Dari BJ Habibie, kita belajar singkat mengenai kemajuan peradaban.

Dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kita semakin memaknai pluralitas sebagai perekat kebangsaan.

Begitu juga dari Megawati, kita meneguhkan kembali kebangsaan yang sempat hilang, dan dari Susilo Bambang Yudhoyono, kita mengisi pembangunan yang tertinggal.

Justru di penggal pertama kepemimpinan Jokowi, kita telah menikmati kemajuan pembangunan infrastruktur yang terus diuber.

Kita bangga menjadi orang Indonesia karena semua kalangan dirangkul untuk membangun negeri. Rasa ke-Indonesia-an kita semakin tebal.

Hanya saja, di penggal kedua periode kepemimpinan Jokowi, kita tengah diuji ketika wabah corona tiba.

Seperti pernyataan Megawati, tidak ada satu negara pun di dunia yang kebal dengan pandemi sekalipun itu negara adidaya Amerika Serikat.

Justru pernyataan ini menjadi pengingat, sudahkah kita menebalkan diri sebagai “saudara” dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Indonesia?

Ketika negara kita tengah tertimpa pandemi, bukan saat yang tepat untuk saling mengumbar kebencian atau permusuhan.

Musuh kita walau tidak terlihat tetapi jelas adanya: virus corona. Musuh itu harus kita hadapi, lawan, dan taklukkan. Kita tiba pada titik yang tidak bisa mundur lagi ke belakang. Point of no return.

Sejak Maret 2020 hingga sekarang, kita tengah bersedih karena wabah Covid begitu meruyak. Kita sempat mengalami semua rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien, para tenaga kesehatan kewalahan dan banyak yang wafat karena malah terpapar.

Penggali kubur terkulai lemas karena terlalu payah menggali lahat. Persediaan oksigen menjadi langka. Belasan ribu anak menjadi yatim piatu. Angka kematian sudah di atas 123 ribu jiwa.

Pemerintah kita begitu sibuk mencari vaksin, ditengah keterbatasan vaksin karena semua negara membutuhkannya.

Dengan jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang sangat luas dan kompleksitas perbedaan pandangan dan budaya menjadikan upaya penanganan pandemi tidak semudah membalikkan tangan.

Dengan target 208,26 juta orang yang harus divaksin untuk mencapai kekebalan kelompok bukanlah perkara gampang.

Belum lagi kelambatan laju perekonomian dan besarnya warga yang membutuhkan bantuan sosial juga butuh atensi penuh di tengah keterbatasan anggaran negara yang tersedia.

Jokowi memang harus dikasihani. Saya yakin di balik dukungan bahkan siap pasang badang untuk pihak-pihak yang melecehkan presiden, Megawati sebenarnya menitip pesan untuk Jokowi: sura sira jayaningrat, lebur dening pangastuti.

Segala sifat keras hati, picik, dan angkara akan kalah dengan keluhuran budi pekerti yang bijaksana, lembut hati, sabar, dan mulia.

Tetaplah Jokowi menjadi presiden kami hingga tuntas pengabdiannya pada 2024 nanti. Mohon maaf jika kami kerap mengkritikmu. Ini adalah bukti kami semua ingin menjadikan Indonesia tangguh dan tetap tumbuh.

Tetaplah menjadi presiden kami yang ambeg utomo, andhap asor. Selalu mengutamakan kerendahan hati.

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/21/10341111/jangan-misuh-karena-kita-bukan-musuh

Terkini Lainnya

Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Nasional
Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke