JAKARTA, KOMPAS.com – Berbicara tentang Presiden Soekarno tak bisa lepas dari hubungannya dengan sang Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Keduanya dijuluki dwitunggal karena merupakan simbol kepemimpinan Indonesia di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Kendati demikian hubungan keduanya tak selalu mesra. Tak jarang keduanya terlibat perdebatan lantaran memiliki sudut pandang yang berbeda dalam hal pemerintahan.
Baca juga: Tjokroaminoto dan Dapur Nasionalisme Soekarno
Bahkan sejak awal pertemuannya, Bung Karno dan Bung Hatta sudah memiliki perbedaan pandangan dalam cara memerdekakan Indonesia.
Di dalam autobiografinya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno pun mengakui ketidaksepahaman yang kerap muncul antara dia dan Bung Hatta.
“Pada tahun 1920an, antara kami telah terdapat keretakan Ketika aku menjadi eksponen utama dengan pendirian bahwa nonkoperasi, sedang dia (Hatta), sebagai eksponen utama dengan pendirian bahwa kerja sama dengan pemerintah (Belanda) tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan,” tutur Bung Karno dalam autobiografinya itu.
Pertemuan pertama Bung Karno dengan Bung Hatta pun tak menyisakan kesan yang menyenangkan di antara keduanya.
Mereka pertama kali bertemu di Bandung saat Soekarno baru bebas dari penjara Sukamiskin. Adapun Hatta kala itu baru tiba di Tanah Air setelah menyelesaikan kuliahnya di Belanda.
Baca juga: Soekarno dan Lahirnya Putra Sang Fajar
Waktu itu Soekarno dan Hatta sama-sama terkenal dengan PNI-nya. Soekarno merupakan pimpinan utama Partai Nasional Indonesia sedangkan Hatta adalah pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Kedua partai itu memiliki cara yang berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno dengan Partai Nasional Indonesia berupaya memperjuangkan kemerdekaan dengan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Sedangkan Hatta dengan Partai Pendidkan Nasional Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan mendidik para kadernya agar memiliki kesadaran kewarganegaraan yang kuat sehingga mampu memperjuangkan hak-hak sipilnya tanpa pengaruh tokoh manapun.
Maka saat pertemuan pertama keduanya berlangsung, perdebatan antara metode Partai Nasional Indonesia besutan Bung Karno dengan Pendidikan Nasional Indonesia bentukan Bung Hatta pun tak terelakkan.
Hatta mengkritik PNI Soekarno yang bertumpu pada ketokohan perorangan. Akibatnya Ketika Soekarno dipenjara pergerakan PNI pun ikut terhenti.
Baca juga: Kisah di Balik Patung Soekarno Menunggang Kuda yang Diresmikan Prabowo di Kemhan
Sedangkan Soekarno mengkritik PNI Hatta yang menurutnya utopis untuk mencapai cita-cita kemerdekaan karena tak banyak bersentuhan dengan massa rakyat.
“Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun Bung Hatta. Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalua hari sudah kiamat,” kata Soekarno mengomentari metode pergerakan PNI Hatta.
Meski keduanya kerap tak sependapat, Soekarno dan Hatta mampu mengesampingkan ego pribadinya demi kepentingan bersama.
Soekarno sadar, ia membutukan sosok Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa.
“Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia (Hatta) adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia,” ucap Bung Karno.
Baca juga: Sejarah Hari Lahir Pancasila: Wasiat Bung Hatta untuk Putra Soekarno
Usai memproklamikran kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keduanya pun ditahbiskan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Namun hubungan keduanya mulai retak saat Soekarno mengajukan gagasan demokrasi terpimpin dengan alasan sistem pemerintahan parlementer saat itu tidak bisa menghasilkan kabinet pemerintahan yang stabil.
Hatta lalu menilai gagasan demokrasi terpimpin yang ditawarkan Soekarno jauh dari cita-cita negara demokrasi.
Sebabnya dalam gagasan demokrasi terpimpin, segala keputusan strategis berada di tangan presiden. Ia pun memilih angkat kaki dari Istana dan berhenti dari jabatan wakil presiden.
Setelah Hatta mengundurkan diri, dengan gagasan demokrasi terpimpinnya melalui Dekrit Presiden 1959, Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955.
Baca juga: Mengenang Perjalanan Rahmi Hatta Mendampingi Bung Hatta
Soekarno kemudian membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang anggotanya ia tunjuk langsung.
Bung Hatta pun mengkritik habis-habisan tindakan Bung Karno itu. Hatta lalu menulis kritik yang terhadap demokrasi terpimpin ala Bung Karno secara panjang lebar. Kritik Hatta dalam bentuk tulisan itu dikenal dengan judul Demokrasi Kita.
“Ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri,” tulis Hatta dalam Demokrasi Kita.
Meski saling mengkritik secara keras, di luar urusan politik Soekarno tetap bersahabat dengan Hatta.
Usai mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, Bung Hatta bahkan pernah menggantikan posisi Bung Karno sebagai wali nikah putra sulung Bung Besar, Guntur Soekarnoputra. Saat itu Bung Karno berhalangan karena mulai sering jatuh sakit.
Baca juga: Cerita Filatelis Buru Prangko Bung Karno dan Bung Hatta
Dalam buku Bung Karno The Untold Stories pun diceritakan Bung Hatta menyempatkan diri mengunjungi Soekarno menjelang Bung Besar wafat.
Saat itu pada 16 Juni 1970, Hatta berada di samping Soekarno yang terbujur lemas di tempat tidur. Keduanya saling menanyakan kabar.
Bung Hatta pun tak kuasa menahan tangis dan menggenggam erat tangan Bung Karno melihat kondisi sahabatnya kala itu. Lima hari setelah dikunjungi Bung Hatta, pada 21 Juni 1970, Bung Karno pun mengembuskan napas terakhirnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.