SALAH satu tradisi baik yang selalu hadir saat Idul Fitri, yaitu Halalbihalal. Yang dilakukan dengan bersilaturahmi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, swasta bahkan di lingkungan pemerintah.
Momentum Halalbihalal yang inisiasi awalnya dari Bung Karno tahun 1948 adalah untuk merawat soliditas kebangsaan.
Halalbihalal tahun 1445 H, memiliki signifikansi yang penting di tahun politik saat ini. Utamanya di saat pascahasil kontestasi politik Pilpres dan Pileg 2024 di Mahkamah Konstitusi.
Tahun politik yang panas dipenuhi drama, saling serang di medsos maupun di dunia nyata mengancam keutuhan bangsa. Melalui berbagai aksi provokasi, ujaran kebencian, gesekan dan saling nyinyir dalam kompetisi meraih kekuasaan.
Kata Halalbihalal terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Halalbihalal sebenarnya berasal dari kata serapan 'halal' dengan sisipan 'bi' yang berarti 'dengan' (bahasa Arab) di antara 'halal'.
Dan sudah menjadi kosa kata yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan tradisi asli bangsa kita yang berkembang sejak awal kemerdekaan.
Istilah yang mengandung tiga makna, yaitu halal al-habi (mengurai benang kusut terurai kembali); halla al-maa (mengendapkan air keruh menjadi jernih); serta halla as-syai (menghalalkan sesuatu yang semula haram)
Tahun politik 2024 saat ini memiliki relevansi kontektual dengan kondisi tahun 1948 ketika Bung Karno mencetuskan tradisi halalbihalal.
Saat Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja, ada gejala menguatnya disintegrasi bangsa serta elite politik saling jegal, bahkan enggan duduk berdampingan.
Ditambah dengan pemberontakan di mana-mana, mulai dari gerakan Darul Islam (DI) dan Partai Komunis Indonesia di Madiun.
Kondisi yang semakin tak kondusif membuat Presiden Soekarno meminta saran KH Abdul Wahab Chasbullah atau akrab disapa Mbah Wahab salah satu tokoh pendiri NU.
Seperti dikisahkan KH Masdar Farid Mas’udi, Mbah Wahab didatangkan ke Istana untuk diminta saran dan pendapat untuk mengatasi situasi politik di Indonesia saat itu.
Solusi yang ditawarkan oleh Mbah Wahab kepada Presiden Soekarno, yakni dengan menyelenggarakan silaturahim mengingat momen yang tepat mendekati Idul Fitri.
Namun gagasan menuai kritik dari Presiden Soekarno: “Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain."
”Itu gampang,” kata Mbah Wahab.