Beragam ancaman, lanjut dia, turut menjadi faktor punahnya hiu. Faktor tersebut antara lain disebabkan penangkapan yang tidak lestari; penurunan populasi; kerusakan habitat perubahan lingkungan, seperti sampah laut dan pariwisata dari oknum tidak bertanggung jawab.
“Semakin banyak kami mendatangkan wisatawan di suatu daerah, maka ancaman terhadap populasi komponen ekosistem tersebut membuat tingkat kerusakan semakin tinggi,” tegas Sjarief.
Baca juga: Mengenal Ekosistem Laut
Berdasarkan ancaman tersebut, Kepala BRSDM Sjarief Widjaja menyatakan KKP mengambil langkah upaya melindungi sumber daya hiu dan pari yang dibagi ke dalam empat klasifikasi.
Pertama, status Red List International Union for the Conservation of Nature (IUCN), dengan komposisi rentan 30-50 persen, terancam 50-70 persen, sangat terancam 80-90 persen, punah di alam dan punah.
“Klasifikasi kedua, yakni CITES yang digolongkan ke dalam Appendik I, II, dan III,” imbuh Sjarief.
Klasifikasi ketiga, kata dia, sumber daya yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) maupun Keputusan Menteri (Kepmen KP). Perlindungan tersebut seperti Permen KP Nomor 59/PERMEN-KP/2014 dan Kepmen KP No.76/KEPMEN-KP/2020.
Klasifikasi terakhir, yakni berdasarkan rencana aksi nasional (RAN) atau National Plan of Action (NPOA) 2021 – 2025. Beberapa spesies hiu dan pari yang mendapat perlindungan penuh adalah pari gergaji, pari sentani, hiu sentani, hiu paus, hiu tutul, hiu bodoh, serta pari manta.
Baca juga: Hiu Aneh Bersayap Jelajahi Lautan 93 Juta Tahun yang Lalu
Bagi pihak-pihak yang menangkap, membunuh, memelihara, menyimpan dan memperdagangkan hiu atau pari tersebut dapat dikenakan sanksi penjara selama enam tahun dan denda paling banyak sebesar Rp1,5 miliar.
Oleh karena itu, Sjarief meminta agar data dari hiu dan pari dapat disosialisasikan dengan menempel gambar-gambar tersebut di lokasi penangkapan ikan, pasar ikan atau wilayah-wilayah sekitar penangkapan.
“Tentu sosialisasi ini jangan dilaksanakan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Tetapi di lokasi pemetaan hiu dan pari ini berada. Di situlah lokasi yang harus dilakukan pengawasan dari pemerintah, non-governmental organization (NGO) untuk meningkatkan public awareness,” imbuhnya.
Menurut Sjarief, campaign tersebut harus dilakukan dengan tepat, di daerah yang tepat dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal, serta pendekatan kearifan lokal. Hal ini agar pesan pemerintah dapat tersampaikan dengan baik.
Baca juga: Ahmad Syaikhu; “Negatif Campaign Masih memungkinkan, tapi Black Campaign Kita Tidak Lakukan
Pada kesempatan tersebut, Sjarief menjelaskan BRSDM telah menentukan arah riset dan strategi pengelolaan sumber daya hiu dan pari pada 2021 – 2025.
Riset dan strategi tersebut ditelurkan melalui pelatihan identifikasi spesies ikan hiu dan pari secara tepat dan akurat; pendaratan hasil tangkapan hiu harus utuh guna mempermudah identifikasi dan pencatatan ikan hiu Apendiks II CITES.
Kemudian, penyediaan alternatif pekerjaan lainnya bagi nelayan penangkap hiu dan pari, seperti usaha budidaya perikanan, usaha pengolahan ikan, dan usaha ekonomi kreatif; regulasi Menteri KP terkait hasil tangkapan pari Mobulidae Apendiks II CITES.
Penangkapan tersebut cenderung tinggi sebagai hasil sampingan pada perikanan tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia.