PERTARUNGAN sudah usai, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming adalah pemenang dalam “gladiator” pesta demokrasi.
Para lawan sudah mulai tertunduk untuk bergabung dalam barisan pemenang. Namun ada juga yang menunjukkan taring mencari jalan terjal sebagai penyeimbang dengan gelar oposisi.
Gerbong pemerintahan baru akan berjalan, “sang masinis” sedang mencari penumpang dengan satu “visi misi” kenegaraan. Dalam negara demokrasi dapatkah semua berjalan seperti yang diimpikan?
Demokrasi memang membutuhkan prasyarat rasionalitas, karena seorang pemimpin yang terpilih adalah primus inter pares (terbaik dari yang terbaik) dengan penilaian integritas, kapasitas, dan kapabilitas.
Hanya saja, demokrasi di Indonesia menegasikan semuanya dengan menjunjung “hati”, bukan hati yang tulus melainkan “baperan”.
Politik baperan yang ada di Indonesia bersifat temporer, karena yang menang tetaplah “kepentingan”, menjadi kawan ataupun lawan adalah bagian dari matematika kepentingan atas perebutan kekuasaan, bukan kepentingan perjuangan kedaulatan rakyat.
Alih-alih menonton drama Korea, sepertinya drama politik Indonesia jauh lebih menarik.
Pada awal kontestasi penentuan calon presiden dan wakil presiden dari partai politik, masyarakat dihebohkan “drama” intrik Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bahkan “Sang Ibu” pun sampai marah-marah.
Pascakontestasi pun drama ini masih berlanjut. Foto Jokowi hilang di ruang rapat Kantor DPD PDIP Sumatera Utara yang menyisakan hanya foto Wakil Presiden Ma’ruf Amin, menandakan bahwa drama ini memasuki babak baru.
Drama lainnya pun muncul, kala lawan “berjatuhan” menjadi kawan menjadi satu gerbong dengan Prabowo-Gibran.
Seperti Partai Nasdem yang sudah mengambil peluang koalisi, maka partai lain disebut-sebut akan tergiur dengan tawaran kekuasaan ini.
Bahkan, jatah tiga kursi menteri untuk PDIP sampai saat ini belum membuat Sang Ibu mengangguk.
Seorang pemimpin akan mendambakan stabilitas, namun berbeda dengan lawan politiknya yang akan selalu mendorong si pemimpin selalu mawas diri agar situasi demokratis tetap berlangsung.
Kredo Lord Acton masih menjadi pegangan di mana kekuasaan selalu cenderung pada penyalahgunaan dan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan mengarah pada penyalahgunaan.
Dari sini, jelas pandangan urgensi oposisi sama pentingnya dengan urgensi pemerintahan itu sendiri.