Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Sederet Kebijakan Kontroversial Jokowi Selama Pandemi Covid-19...

Kompas.com - 06/10/2020, 05:33 WIB
Ihsanuddin,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi virus corona (Covid-19) sudah berlangsung lebih dari tujuh bulan di Indonesia.

Hingga Senin (5/10/2020) kemarin, tercatat ada 307.120 kasus Covid-19 di Tanah Air.

Dari jumlah tersebut, 232.593 telah dinyatakan sembuh. Namun, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia mencapai 11.253 orang.

Tidak hanya krisis kesehatan, namun pandemi Covid-19 juga turut berdampak pada ekonomi.

Banyak usaha merugi dan masyarakat kehilangan pekerjaan. Ekonomi RI merosot tajam pada kuartal II 2020 ke minus 5,32 persen.

Baca juga: Soal Penanganan Covid-19, Kebijakan Pemerintah Dinilai Tak Kompak

Namun, pada masa sulit ini, pemerintahan Joko Widodo justru melahirkan sejumlah kebijakan kontroversial. Berikut rangkumannya:

1. Perppu Covid-19

Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Perppu Covid-19 ini diteken dan diumumkan Jokowi pada 31 Maret lalu, atau setelah sebulan pandemi berlangsung di tanah air.

Kepala Negara menyebut, Perppu itu memberikan pondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat.

Namun, Perppu Covid-19 menuai sorotan karena dinilai justru bisa membuka celah bagi pejabat untuk melakukan korupsi.

Baca juga: Perppu Covid-19 Disahkan, Istana Apresiasi DPR

Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah pasal 27 yang dianggap memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi.

Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa sejumlah pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan

Kemudian, Pasal 27 Ayat (3) mengatakan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.

Sejumlah pihak pun ramai-ramai menggugat Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Meski menuai kontroversi, namun pengesahan Perppu ini tetap berjalan mulus di DPR.

Pada 12 Mei, DPR melalui rapat paripurna mengesahkan Perppu 1 Tahun 2020 tersebut menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Baca juga: Komisi XI DPR: Perppu Penanganan Covid-19 Berpotensi Langgar Konstitusi

Alhasil, para pihak yang menggugat Perppu 1/2020 harus mencabut terlebih dahulu gugatannya karena dianggap telah kehilangan objek.

Mereka lalu mengajukan gugatan kembali terhadap UU 2/2020 dan hingga saat ini, proses gugatan masih berjalan di MK.

2. Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.

Aturan tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada 5 Mei lalu, setelah pandemi Covid-19 berlangsung selama dua bulan. Adapun kenaikan tarif mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Iuran peserta mandiri kelas II juga meningkat dua kali lipat dari 51.000 menjadi menjadi Rp 100.000.

Hanya peserta kelas III yang iurannya tidak naik karena disubsidi pemerintah.
Kenaikan untuk peserta kelas III baru mulai berlaku pada Januari 2021, dari Rp 25.500 menjadi Rp 35.000.

Baca juga: Luhut Minta BPJS Kesehatan Percepat Pembayaran Klaim RS Rujukan Covid-19

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan yang sudah lama mengalami defisit.

Namun, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung.

Sebab, pada Februari MA juga telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan dengan mengubah sedikit nominalnya, menurut Feri, merupakan upaya bermain hukum.

"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian, Presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.

Sementara, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai, langkah menaikkan iuran saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai kepekaan sosial.

Baca juga: Dimulai 2021, Bagaimana Perkembangan Proses Peleburan Kelas BPJS Kesehatan?

Padahal, menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19.

"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat," ujar Timboel.

3. Pilkada 2020

Kebijakan kontroversial selanjutnya adalah tetap menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19.

Komisi II DPR dan pemerintah sepakat Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember.

Padahal, berbagai elemen masyarakat sudah meminta pilkada untuk ditunda karena bisa menjadi klaster penularan Covid-19.

Misalnya, ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sama-sama kompak meminta agar pilkada ditunda terlebih dahulu.

Baca juga: Persentase Kematian Covid-19 di Sumsel Lampaui Nasional, IDI Minta Pilkada Ditunda

Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut sepakat bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat harus menjadi yang utama di masa pandemi ini.

Lembaga swadaya masyarakat semisal Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) hingga Indonesia Corruption Watch (ICW) juga meminta pilkada ditunda karena berpotensi menambah penyebaran Covid-19 serta rawan kecurangan.

Bahkan mayoritas masyarakat umum juga ingin pilkada ditunda. Hal itu terpotret oleh hasil survei Charta Politika dan Indikator Politik Indonesia.

Terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga meminta pemerintah untuk menunda pilkada.

LIPI yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian itu menilai bukan sebuah keputusan bijak menggelar pilkada di tengah pandemi.

Kekhawatiran berbagai pihak itu beralasan apabila melihat tahap awal pendaftaran pilkada di mana konsentrasi massa masih terjadi.

Baca juga: Suara-suara yang Desak Pilkada Ditunda Vs Keputusan Pemangku Kepentingan

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pun mengakui, kenaikan kasus Covid-19 baru-baru ini salah satunya disebabkan akibat kontestasi pilkada.

Bahkan, penyelenggara hingga peserta pilkada ikut terpapar Covid-19.

Dari KPU Pusat, ada tiga komisioner yang terpapar Covid-19, yakni Arief Budiman, Evi Novida Ginting serta Pramono Ubaid. Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir juga ikut terpapar setelah sempat bertemu Arief.

Dari komisoner Bawaslu pusat, ada Ratna Dewi Pettalolo yang sudah lebih dulu tertular Covid-19.

Selain penyelenggara, para peserta pilkada juga tertular Covid-19. Bahkan, jumlahnya terus bertambah dalam waktu singkat.

KPU mencatat, hingga Kamis (10/9/2020), ada 60 calon kepala daerah terpapar Covid-19.

Baca juga: Soal Kemungkinan Pilkada Ditunda, Ketua KPU: Belum Ada Pikiran Itu

Tiga diantaranya meninggal dunia, yakni Bupati Berau petahana Muharram, calon wali kota Bontang Adi Darma dan calon bupati Bangka Tengah Ibnu Soleh.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan terima kasih kepada PBNU, PP Muhammadiyah dan organisasi masyarakat lain yang mengusulkan agar Pilkada 2020 ditunda.

Namun, Mahfud MD menegaskan bahwa pilkada akan tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 yang ketat.

4. Melenggangkan RUU Cipta Kerja

Kebijakan kontroversial terakhir adalah melenggangkan pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

DPR dan pemerintah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020) kemarin.

RUU ini berkonsep sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU sekaligus.

Baca juga: UU Cipta Kerja Hapus Aturan Batas Waktu Kerja bagi Pekerja Kontrak

Pemerintah sebagai inisiator mengklaim RUU ini dirancang untuk menggenjot pertumbuhan lapangan kerja.

Namun sejak awal, RUU ini sudah mendapat protes dari elemen buruh karena mengandung aturan yang dapat memangkas hak-hak pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.

Misalnya, libur yang hanya satu hari dalam sepekan. Lalu, tak adanya sanksi bagi pengusaha yang tak membayar upah.

Perusahaan juga tak perlu lagi memberikan surat peringatan tiga sebelum melakukan pemecatan karyawan.

Bahkan, karyawan yang dipecat tak bisa lagi melakukan gugatan apabila tak terima dengan keputusan perusahaan.

Di saat demo dan aksi buruh terus dilakukan di berbagai tempat untuk menolak pengesahan ini, pemerintah dan DPR justru terus mengebut pembahasan. RUU ini pun akhirnya rampung di tengah pandemi.

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menyebut, Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali untuk merampungkan RUU ini.

"Rapat dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dimulai pagi hingga malam dan dini hari," ujar Supratman saat rapat pengesahan.

Baca juga: UU Cipta Kerja Hapus Hak Pekerja Ajukan Gugatan jika Tak Terima PHK

Dalam rapat itu, tujuh fraksi sepakat mendukung pengesahan RUU ini, yakni Fraksi PDI-Perjuangan, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, PAN.

Dua fraksi yang menolak pengesahan, yakni Demokrat dan PKS, kalah suara.

Menanggapi pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun menyatakan pihaknya dan para serikat buruh akan melakukan mogok nasional pada 6-8 Oktober.

Sebanyak 32 federasi dan konfederasi serikat buruh dan sejumlah federasi serikat buruh lainnya siap bergabung dalam unjuk rasa serempak. Kurang lebih 2 juta buruh akan bergabung dalam aksi mogok nasional tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Nasional
Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com