JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 tumbuh negatif akibat Covid-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Adapun pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 adalah 2,97 persen. Dengan demikian, ekonomi Indonesia pada semester I-2020 tumbuh negatif 1,26 persen.
Tanpa adanya intervensi dari pemerintah di sektor ekonomi, diperkirakan kesejahteraan masyarakat semakin terkoreksi.
Baca juga: Komisi VIII Minta Pemerintah Ganti Bansos dengan Uang Tunai
Pemerintah sejauh ini diketahui telah memiliki sejumlah program penyaluran bantuan sosial atau bansos untuk membantu pemulihan kesejahteraan masyarakat.
Namun, meski program tersebut telah diperpanjang hingga Desember 2020, serta ada instrumen baru yang telah disiapkan untuk membantu masyarakat, proses penyalurannya bukan tanpa persoalan.
Ombudsman Republik Indonesia yang telah membuka posko pengaduan selama pandemi Covid-19, bahkan melaporkan penyaluran bansos sebagai kasus aduan terbanyak yang diterima oleh mereka.
"Kalau memperhatikan laporan-laporan yang masuk, itu secara berurutan yang paling banyak terkait dengan bansos," kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, Rabu (6/8/2020).
Baca juga: Terima 1.346 Aduan Terkait Bansos, Ombudsman Sarankan Pemerintah Perbaiki Data
Pelaporan ini menjadi ironi di tengah upaya pemerintah mengatasi persoalan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah sebelumnya pada Juni lalu sempat memproyeksikan angka kemiskinan bertambah menjadi 5,71 juta orang dan pengangguran mencapai 5,23 juta orang.
Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan terjadinya pertumbuhan tingkat kemiskinan menjadi 10,63 persen akibat pandemi ini.
Setidaknya bakal ada penambahan jumlah penduduk miskin hingga 4 juta orang jika pemerintah tidak melakukan intervensi melalui program perlindungan sosial.
Dengan demikian, total penduduk miskin diproyeksi bakal meningkat dari 24,79 juta orang menjadi 28,7 juta orang.
Baca juga: Menko PMK: Jumlah Rumah Tangga Miskin di Indonesia Capai 7,5 Juta
Laporan terbanyak
Ombudsman sendiri diketahui telah menutup posko pengaduannya sejak 31 Juli lalu.
Namun, sejak dibuka hingga ditutup, setidaknya posko tersebut telah menerima 1.346 aduan terkait bantuan sosial.
Secara rinci, dari empat jenis bantuan sosial yang diberikan, program sembako menjadi yang terbanyak diadukan yaitu sebesar 52 persen.
Disusul kemudian Bantuan Langsung Tunai (42 persen), Program Keluarga Harapan (1,86 persen) dan Kartu Prakerja (2,6 persen).
Baca juga: Muhadjir Soroti Sejumlah Pemda Setop Bansos Lewat APBD
Menurut Amzulian, salah satu persoalan yang mencuat di dalam penyaluran bansos yakni tidak akuratnya data penerima bansos.
"Kalau saja punya data yang baik, ada koordinasi data yang baik, tidak akan terjadi orang yang tidak berhak dapat bansos malah dapat, sementara orang yang berhak justru tidak dapat bansos," kata Amzulian.
Ia pun menyarankan agar Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri dapat segera mengintegrasikan data yang dimiliki agar tidak terjadi persoalan kembali di dalam proses penyaluran bansos tersebut.
Baca juga: Program Jaring Pengaman Sosial Berlanjut, Pemerintah Tambah Nilai Bansos
Terkait persoalan data, Ketua Komisi VIII Yandri Susanto mengatakan, dari 500 lebih wilayah kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hanya sekitar 100 daerah yang telah memperbarui data dalam kurun 10 tahun terakhir.
"Jadi ada kabupaten dan kota selama 10 tahun terakhir tidak melakukan pembaharuan data kemiskinan," kata Yandri seperti dilansir dari Antara, Rabu.
Akibatnya, saat bansos Covid-19 disalurkan, banyak warga yang seharusnya berhak, tetapi justru tidak mendapatkannya. Demikian pula sebaliknya.
Namun, berdasarkan klaim Kementerian Sosial, jumlah daerah yang belum memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) lebih sedikit.
Baca juga: Menko PMK: Bansos Tahap Dua Fokus Tingkatkan Daya Beli Masyarakat
Kendati demikian, pemerintah tak menampik bila penyaluran bansos yang telah berjalan belum sepenuhnya tepat sasaran.
Bahkan, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, DTKS yang digunakan sebagai dasar penetapan keluarga penerima bansos sudah tidak akurat.
Masih banyak rumah tangga miskin yang belum masuk DTKS dan banyak pula keluarga mampu karena kenaikan perubahan status sosial yang masih terdaftar dalam DTKS.
Tak hanya itu, masih banyak nama dalam DTKS yang tidak sinkron dengan nomor induk kependudukan. Muhadjir menyebut, setidaknya terdapat 20 juta nama dengan NIK yang tidak sesuai.
Baca juga: Hingga Desember 2020, Kemensos akan Bagikan BST kepada 9 Juta KPM
Disunat
Ironisnya, tak hanya persoalan penyaluran bantuan yang kurang tepat sasaran. Tidak sedikit masyarakat yang telah menerima bansos pun, tidak mendapatkan bantuan sesuai dengan nominal yang dijanjikan sebelumnya.
Berdasarkan laporan yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui aplikasi JAGA Bansos, setidaknya ada 621 laporan terkait penyaluran bantuan sosial yang diterima sejak aplikasi tersebut diluncurkan pada awal Mei hingga Juli 2020.
"Keluhan yang paling banyak disampaikan adalah pelapor tidak menerima bantuan padahal sudah mendaftar, yaitu 268 laporan," kata Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati pada 6 Juli lalu.
Baca juga: Ketua KPK Ingatkan Korupsi Penanganan Bencana Diancam Hukuman Mati
Selain itu, ada enam topik lain yang paling banyak disampaikan pelapor yaitu bantuan yang tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan sebanyak 66 laporan.
Kemudian, bantuan dana yang diterima jumlahnya kurang dari yang seharusnya (47 laporan), penerima fiktif (31), mendapat bantuan lebih dari satu (7), bantuan yang diterima berkualitas buruk (6), serta warga yang seharusnya tidak menerima bantuan tetapi menerima bantuan (5).
Terkait persoalan kualitas bantuan, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarankan pemerintah agar memperbanyak pemberian bantuan tunai kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.
Menurut Adnan, konsep bantuan langsung tunai dapat mengurangi potensi korupsi dalam penyalurannya.
"Mengonsep bantuan langsung tunai yang sifatnya semesta, ini bisa kurangi potensi korupsi dalam belanjanya," kata Adnan dalam diskusi online ICW, awal Juni lalu.
Baca juga: Program Jaring Pengaman Sosial Berlanjut, Pemerintah Tambah Nilai Bansos
Dipolitisasi
Persoalan selanjutnya di dalam penyaluran bansos adalah program ini justru menjadi komoditas politik dalam penyelenggaraan Pilkada serentak mendatang.
Badan Pengawas Pemilu mengungkap, setidaknya ada empat jenis politisasi bansos di masa pandemi. Pertama, bantuan yang diberikan dilabeli foto kepala daerah.
"Beberapa modelnya, diberi (bantuan) label kepala daerah," kata Afif dalam diskusi online bertajuk 'Kala Pandemi, Bansos Jadi Bancakan Pilkada Mungkinkah?,' pada 20 Juli lalu.
Politisasi berikutnya yakni bansos diberi label bantuan partai politik tertentu. Lalu, ada juga bansos yang bersumber dari APBD tetapi diberikan atas nama kepala daerah atau partai politik.
Sedangkan yang terakhir adalah penyalangunaan anggaran untuk penanganan Covid-19.
Baca juga: Masalah Penyaluran Bansos Covid-19 Paling Banyak Diadukan ke Ombudsman
Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar menegaskan, bansos yang diberikan oleh pemda tidak boleh dilabeli nama atau foto kepala daerah yang sedang mencalonkan diri dalam pilkada mendatang.
"Kemendagri akan secara tegas menegur ketika bansos, khususnya daerah yang sedang mengikuti pelaksanaan pilkada mempolitisasi bansos yang bersumber dari APBD," ujar Bahtiar sebagaimana dikutip dari siaran pers di laman resmi Kemendagri, pada 30 Juli lalu.
"(Misalnya) dengan cara menulis nama pribadi dan foto pribadi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang sedang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah," imbuh dia.
Namun, ia menambahkan, pemakaian lambang pemda setempat diperbolehkan pada saat penyaluran bansos. Hal itu untuk menunjukkan sumber pembiayaan bansos yang disalurkan.
"Kalau pakai lambang pemda saja boleh. Kan ada lambang pemda dalam lambang tersebut yang menunjukkan sumber pembiayaan bansos tersebut," ucap dia.
Baca juga: Bawaslu Depok Klaim Tak Berwenang Tindak Politisasi Bansos Covid-19
Hal itu pun sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Karena itu, Bahtiar mendorong agar masyarakat yang memiliki data konkret tentang politisasi bansos segera melapor ke Kemendagri.
"Kami pasti tegur secara tertulis. Ketimbang kita diskusi akan begini akan begitu. Daerah mana yang lakukan politisasi bansos, berikan datanya, kalau ada yang seperti itu pasti kami tegur dan berikan sanksi sesuai UU Pemda," kata Bahtiar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.