Meski begitu, Arief mengakui meningkatnya kasus Covid-19 memang menjadi persoalan untuk pelaksanaan pilkada.
Namun demikian, KPU telah menerbitkan regulasi terkait pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan yang tertuang dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.
Dalam PKPU itu diatur seluruh tahapan pilkada disesuaikan dengan protokol kesehatan, mulai dari verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan, pencocokan dan penelitian data pemilih, kampanye, hingga pemungutan suara.
Bahkan, PKPU tersebut juga mengatur mekanisme pelayanan pemungutan suara pada pemilih yang tengah melakukan isolasi mandiri atau positif Covid-19 dan dirawat di rumah sakit.
Baca juga: Pilkada Depok 2020 Disebut Jadi Ujian Berat untuk PKS
"Pilkada itu regulasinya sudah mengatur bagaimana merespons, bagaimana menyikapi situasi seperti ini, dan lain-lain," ucap Arief.
Menurut Arief, seandainya pilkada kembali ditunda, tak ada yang bisa memprediksi bahwa tahun depan pandemi sudah berakhir.
Oleh karenanya, dalam menyikapi hal ini, penting mempertimbangkan energi yang sudah dikeluarkan agar tak terbuang sia-sia.
"Kalau toh ditunda, kita tidak ada yang bisa memprediksi tahun depan pandeminya hilang atau tidak kita tidak bisa memperkirakan," ujar Arief.
"Penting pertimbangan kita energi yang sudah dikeluarkan terlalu besar ini jangan sampai sia-sia. Supaya tidak sia-sia, bersama-sama menjadi tugas kita menjaga kesehatan dan keselamatan menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi Covid-19," katanya lagi.
Rencana penundaan pemungutan suara Pilkada dari 23 September hingga 9 Desember 2020 menuai polemik sejak awal.
Baca juga: Sumbar Temukan 17 Kasus Baru Positif Covid-19, Jumlah Tertinggi Setelah Sebulan Landai
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa terlalu berisiko jika pemungutan suara pilkada digelar Desember 2020.
Risikonya tidak hanya pada kesehatan masyarakat, melainkan juga menurunnya kualitas sebuah pesta demokrasi.
"Pilkada bulan Desember menurut kami terlalu berisiko, baik risiko bagi kesehatan para pihak, ini Pak Menkes sudah ngomong sendiri, maupun risiko menurunnya kualitas pelaksanaan tahapan Pilkada," kata Titi dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring.
Titi mengatakan, bagaimanapun situasinya, pilkada seharusnya digelar dengan menjamin hak asasi manusia untuk tetap sehat dan aman.
Baca juga: Kantor Jadi Klaster Baru Covid-19, Ini Saran Pakar Epidemiologi UGM
Artinya, pilkada tidak boleh diselenggarakan dengan membahayakan kesehatan dan keselamatan petugas pemilih maupun peserta pemilihan.
Namun, dengan rencana pelaksanaan pillkada di tengah situasi wabah Covid-19 ini, dikhawatirkan jaminan terhadap hak asasi tersebut tak dapat terpenuhi.
"Saya dan temen-temen di Perludem berpandangan, kita itu tidak memungkinkan pemungutan suara di Desember karena persiapannya bersentuhan dengan masa pandemi yang bisa membawa risiko kesehatan," ujar Titi.
Titi pun menyarankan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk berani menunda pilkada kembali.
Menurut Titi, jika persoalan ini tak ditanggapi secara serius, bukan tidak mungkin berdampak pada menurunnya kepercayaan publik pada demokrasi.
Baca juga: Pemerintah Belum Berencana Tambah Anggaran Insentif Penanganan Covid-19