Oleh karena itu, demi mencegah agar angka perkawinan anak tidak semakin membesar, Kementerian PPPA akan memperluas dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
"Sinergi pemerintah dari pusat sampai ke daerah (dibutuhkan) karena kasus terbesar dalam perkawinan anak terjadi di daerah pedesaan," kata Bintang di dalam diskusi bertajuk 'Pendidikan Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak' secara daring, Jumat (24/7/2020).
Baca juga: Menteri PPPA Sebut Kasus Terbesar Perkawinan Anak Ada di Pedesaan
Pendidikan hukum itu rencananya akan difokuskan di desa-desa yang terdapat di 20 provinsi yang menduduki tingkat kasus perkawinan anak yang tinggi.
Pelaksanaannya pun akan diawali di delapan provinsi terlebih dulu dan secara bertahap akan dilaksanakan di provinsi-provinsi lainnya.
Program itu termasuk ke dalam program gerakan bersama pencegahan perkawinan anak yang di-launching ulang pada 31 Januari 2020.
Gerakan tersebut melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota, terutama bagi 20 provinsi yang angka perkawinan anaknya di atas angka perkawinan nasional.
Termasuk 65 lembaga masyarakat yg selama ini bermitra, komunitas-komunitas, dunia usaha, dan tokoh agama.
Bintang Puspayoga mengatakan, salah satu alasan perkawinan anak masih terjadi adalah adat istiadat dan keyakinan.
Baca juga: Menteri PPPA: Adat Istiadat Masih Jadi Alasan Perkawinan Anak
Persoalan adat istiadat dan keyakinan tersebut masuk ke dalam faktor penyebab perkawinan anak melalui konstruksi sosial yang sudah memasuki tahap darurat.
"Kedaruratan itu terletak pada posisi praktik perkawinan anak yang masih diterima, biasa, dibenarkan bahkan dianggap sebagai penyelesaian masalah dan dipersepsikan boleh dilaksanakan dengan alasan tradisi adat istiadat, keyakinan," ujar Bintang.
Ia mencontohkan praktik perkawinan anak yang mengatasnamanakan tradisi, budaya, atau agama adalah yang terjadi di Lombok.
Di daerah tersebut, kata dia, perempuan dapat dilarikan ke rumah laki-laki untuk dinikahkan.
Termasuk hasil penelitian di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan yang menunjukkan adanya konstruksi sosial terhadap gender yang memengaruhi penerimaan masyarakat untuk perkawinan anak-anak.
"Di sana anak perempuan yang lambat menikah disebut sebagai perawan tua padahal mereka masih usia di bawah 18 tahun. Kondisi-kondisi ini (menunjukkan) masih banyak PR kita yang masih menjadikan adat kedok perkawinan anak," kata dia.
Baca juga: Dampak Berkepanjangan akibat Perkawinan Anak, dari Kesehatan hingga Kemiskinan
Bintang mengatakan, faktor penyebab perkawinan anak lainnya adalah perkawinan yang terjadi pada keluarga dengan latar belakang orang tua ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.