JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, pihaknya sedang mendalami program Kartu Prakerja yang diluncurkan pemerintah di tengah pandemi Covid-19.
Hal itu ia sampaikan dalam rapat bersama Tim Pengawas Penanganan Covid-19 DPR, Rabu (20/5/2020).
"KPK juga saat ini sedang mendalami terkait dengan program Kartu Prakerja yang di bawah koordinasi Menteri Perekonomian. Ini juga yang sedang kami kerjakan," kata Firli.
Baca juga: Munculnya Kecurigaan Koalisi Pendukung Pemerintah terhadap Program Kartu Prakerja
Program Kartu Prakerja sempat disinggung dalam rapat Komisi III DPR bersama KPK pada 29 April lalu.
Saat itu, sejumlah anggota Komisi III menyebut ada kejanggalan dalam program Kartu Prakerja yang diinisiasi pemerintah dan meminta KPK untuk mendalaminya.
Namun, Firli tak menyebutkan secara terperinci sejauh mana pendalaman yang tengah dilakukan KPK terhadap Kartu Prakerja.
Baca juga: Minta KPK Awasi Kartu Prakerja, Habiburokhman: Jangan sampai Pak Jokowi Ditipu Anak Kecil
Di saat bersamaan, Firli melaporkan KPK telah menugaskan sejumlah personelnya di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Selain itu, KPK juga terus berkoordinasi dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan.
"Kami juga selalu koordinasi dengan Kmenterian Sosial, kami juga sudah melakukan kegiatan dengan Menteri Kesehatan," ucapnya.
Baca juga: Politikus PDI-P Dorong KPK Usut Dugaan Kongkalikong di Kartu Prakerja
Berikutnya, ia menyatakan KPK menaruh perhatian besar pada penggunaan anggaran pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan Covid-19.
Firli mengingatkan agar jangan sampai ada persekongkolan korupsi anggaran penanganan Covid-19.
"Dalam rangka penggunaan anggaran tidak ada persengkokolan untuk melakukan kolusi yang akhirnya terjadi korupsi," kata Firli.
Baca juga: Di RDP, Politisi PKB dan Demokrat Minta KPK Awasi Program Kartu Prakerja
Dia menuturkan KPK tidak melakukan penuntutan perdata atau pidana jika kebijakan yang diputuskan berdasarkan iktikad baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Namun, Firli mengatakan KPK memiliki sejumlah indikator penyelewenangan dan penyimpangan pelaksanaan kebijakan yang dapat dikenakan sanksi hukum.
Selain persekongkolan, Firli menyebutkan menerima atau memperoleh kickback.
Kemudian, ada unsur penyuapan, gratifikasi, dan benturan kepentingan.
Selanjutnya, tidak berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat dan tidak membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi.
"Yang terakhir adalah tidak membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi," ujar Firli.
"Kami titip kepada rekan-rekan pimpinan dan pimpinan komisi, seluruh anggota dewan lakukan pengawasan dan ingatkan apabila ada daerah daerah yang rawan yang mungkin saja kemungkinan akan terjadi korupsi," imbuhnya.
Baca juga: Tanggapi Politisi PDI-P soal Kartu Prakerja, Ketua DPP Golkar: Tak perlu Curiga Berlebihan
Dalam rapat, dia pun kembali mengingatkan soal tuntutan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di masa krisis atau bencana nasional.
Firli menyebutkan hal itu diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
"Mengingatkan saja sebagaimana disebutkan undang-undang 31 tahun 1999 juncto undang-undang 20 tahun 2001 Pasal 2 Ayat 2 disebutkan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam masa bencana ancaman hukumannya adalah pidana mati," kata Firli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.