Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Keberpihakan Gus Dur terhadap Minoritas dan yang Tertindas…

Kompas.com - 10/02/2020, 08:17 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

SERANG, KOMPAS.com – Keberpihakan terhadap kelompok minoritas begitu melekat dengan sosok Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Satu dekade sejak wafat pada 30 Desember 2009 lalu, Gus Dur masih terus diingat sebagai pembela warga yang terdiskriminasi.

Romo Sutanta Ateng, seorang tokoh agama Buddha, mengenang andil Gus Dur dalam ‘membebaskan’ masyarakat keturunan Tionghoa.

Selama era Orde Baru, ekspresi identitas kebudayaan masyarakat Tionghoa terbelenggu karena adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Baca juga: Rayakan Imlek, PKB Kenang Jasa Gus Dur Hapus Diskriminasi

Melalui Inpres itu, Presiden Soeharto memerintahkan agar perayaan pesta agama atau adat istiadat etnis Tionghoa dilakukan dalam lingkungan keluarga dan tidak mencolok di depan umum.

Kemudian pada 17 Januari 2000, Gus Dur mencabut Inpres tersebut.

“Kita sangat bersyukur karena di zaman itu kita benar-benar merasakan keberpihakan Gus Dur kepada kita yang sebagian orang menganggap sebagai minoritas,” ujar Romo Sutanta saat menghadiri haul Gus Dur di Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Serang, Banten. (9/2/2020).

“Kalau saja tidak ada Gus Dur sudah jelas tidak bakal ada Imlek, kita juga tidak bisa merayakan Hari Raya Imlek, juga kebudayaan Tionghoa,” tutur dia.

Hal senada diungkapkan tokoh agama Konghucu, WS Rudi Gunawijaya. Ia mengatakan, warga Tionghoa bersyukur dapat merayakan Imlek secara terbuka, bahkan diakui secara resmi.

ca juga: PKB Janji Teruskan Perjuangan Gus Dur terhadap Hak-hak Warga Tionghoa

Setelah pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, kemeriahan Imlek akhirnya bisa dirasakan di Indonesia.

Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari nasional. Sementara penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.

“Kami orang Tionghoa sangat bersyukur sekali dengan diadakannya Imlek secara publik dan mengakui etnis tionghoa sebagai etnis resmi. Bahkan Gusdur terang-terangan bahwa ia adalah keturunan Tionghoa,” ucap Rudi.

Memandang semua kalangan

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Fathaniyah Kiai Matin Syarkowi menilai Gus Dur sebagai tokoh bangsa yang mengayomi dan terbuka terhadap semua kalangan, tidak hanya terhadap kalangan umat Islam.

Baca juga: Mengenang Gus Dur, Ulama yang Mengaku Berdarah Tionghoa

Menurut Kiai Matin, Gus Dur mampu melihat dengan jernih berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Salah satunya, praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Tionghoa kala itu.

“Hakikatnya pendengaran dan penglihatannya sangatlah tajam, bisa melihat situasi dan kondisi bangsa ini,” tutur Kiai Matin.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004, Gus Dur pernah menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi. Misalnya, peraturan soal Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).

"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Indonesia Berduka, Gus Dur Berpulang pada 30 Desember 2009

Peringatan haul Gus Dur di Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Serang, Banten. (9/2/2020).Dok. Komunitas GUSDURian Banten Peringatan haul Gus Dur di Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Serang, Banten. (9/2/2020).

Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa.

Ia pun meminta masyarakat Tionghoa berani memperjuangkan hak-haknya.

"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini menegaskan, etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan etnis lainnya.

Baca juga: Peran Gus Dur di Balik Kebebasan Merayakan Imlek di Indonesia...

"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.

"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," tutur dia.

Meneruskan jejak Gus Dur

Meski Gus Dur telah berpulang sepuluh tahun silam, namun semangat kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan terus digaungkan.

Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian Banten dan Forum Komunikasi Pemuda Lintas Agama (FOKAPELA) berusaha membumikan pemikiran-pemikiran Gus Dur melalui berbagai cara.

Mereka menginisiasi peringatan haul Gus Dur dengan dibalut pagelaran budaya. Tarian adat Bali hingga Papua ditampilkan di aula Pondok Pesantren Al-Fathaniyah.

Baca juga: Gus Dur, Islam, dan Pancasila

“Alasan utama (ada pagelaran budaya) karena berkenaan dengan semangat Gus Dur yang sangat terbuka dengan keragaman budaya,” ujar Ketua Pelaksana haul Gus Dur sekaligus pegiat FOKAPELA, Krispianus T Lilo.

Secara terpisah, Koordinator Komunitas GUSDURian Banten Taufik Hidayat mengatakan, upaya merefleksikan nilai-nilai pemikiran Gus Dur merupakan suatu keharusan bagi generasi muda.

Pasalnya, generasi muda lah yang kini bertanggung jawab dalam merawat keberagaman identitas Bangsa Indonesia.

“Jadi, istilah anak pesantren salafiyah 'ngalap berkah' (meminta berkah) dengan konsisten merawat pemikirannya yang brilian misalnya menyoal kemanusiaan, kesetaraan, kearifan tradisi bahkan sampai urusan kebangsaan ini,” ujar Taufik.

Sementara bagi Rifqiyudin Anshari, salah satu pegiat Komunitas GUSDURian Banten, meneladani sikap, pemikiran dan nilai perjuangan Gus Dur juga berarti merawat keberagaman serta identitas Bangsa.

Baca juga: Kenangan Yenny Wahid soal Gus Dur yang Sering Bantu Cuci Piring...

Menurut dia, masyarakat harus memahami bahwa seni budaya adalah bahasa kemanusiaan.

“Dia (budaya) lahir bersama kemanusiaan. Kita ingin menunjukan Indonesia itu sangat kaya dengan keberagaman suku dan budaya. Itu identitas bangsa yang harus dijaga dan dirawat,” ucap Rifqi.

Mengingat praktik intoleransi, persekusi hingga pelarangan pembangunan rumah ibadah masih menjadi persoalan, inisiatif sosial di akar rumput tampaknya menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com