Dengan menderita hampir 90 persen luka bakar di sekujur tubuh, dan setelah koma selama 18 hari, Bouzizi akhirnya meninggal pada 4 Januari 2011.
Berita soal heroisme Bouzizi yang gigih mempertahankan haknya berjualan dan mencari nafkah tersebar di seluruh negeri. Kabar itu membangkitkan tekad rakyat Tunisia untuk bangkit melawan dan membalaskan dendamnya.
Sebanyak 5000 orang hadir saat upacara pemakamannya.
Peristiwa ini telah menyulut aksi protes maha besar dan berhasil mendepak Presiden Zine El Abidine Ben Ali dari kursi nyamannya sebagai presiden Tunisia selama 23 tahun.
Selang beberapa waktu kemudian, proses demokratisasi di Tunisia menjalar ke seantero negeri arab lainnya: Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya, Yaman, Suriah dan Yordania.
Peristiwa ini kelak dikenal dengan sebutan “Arab Spring”.
Istilah arab Spring sendiri berasal dari proses sejarah politik yang panjang.
Ia merujuk pada pergolakan gelombang demokratisasi yang pernah terjadi di dunia pada beberapa dekade sebelumnya, khususnya gelombang revolusi yang terjadi pada negara-negara Eropa Tengah dan Barat pada tahun 1848.
Revolusi eropa 1848 dikenal dengan istilah The Spring of Nations atau Springtime of the People. Revolusi ini bermula di Kota Sisilia, Italia, kemudian meluas ke Perancis, Jerman, Austria, dan hampir seluruh negara eropa.
Kata spring (musim semi) sendiri secara politik erat kaitannya dengan harapan liberalisasi dan mengacu pada rasa optimisme terciptanya transformasi politik (Zimmer, 2011, The "Arab Spring" Has Sprung).
Seperti di Tunisia, demonstrasi di negara-negara arab lainnya juga telah melahirkan para aktor revolusi baru dengan dominasi gerakan pemuda.
Di Mesir, sebagaimana dikutip dari catatan Asiem El Difroui (2012), gerakan revolusi muncul pertama kali dari sebuah grup facebook yang digalang anak muda.
Penggerak utamanya yakni kelompok grup facebook yang menamakan dirinya “Gerakan Pemuda 6 April”.
Kelompok ini berisikan para kaum terpelajar, kelas menengah dan kelompok politik oposisi pemerintah ‘Kifayah’.
Gerakan ini menjadi penginisiasi awal terjadinya protes.
Disebut Gerakan 6 April sebab untuk mengenang kembali peristiwa penindasan berdarah yang pernah dialami sekelompok buruh tekstil di kota Nile Delta pada tahun 2008.
Selain itu, gerakan revolusi Mesir juga diprakarsai oleh grup facebook yang menamai dirinya “We Are All Khaled”.
Grup ini mencoba menarik simpati publik atas kematian Khaled, salah seorang blogger Mesir yang mati terbunuh dipukuli polisi Mesir secara sadis di sebuah kafe pada 2010.
Foto mayatnya disebarluaskan di kanal-kanal internet. Sebetulnya pengorganisasian serta protes ini telah muncul sebelum arab spring meletus.
Kematian Bouzizi di Tunisia menciptakan momentum penentu.
Puncak dari revolusi di Mesir terjadi setelah Wael Ghonim, seorang kepala pemasaran Google di Timur Tengah dan Afrika Utara ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Hosni Mubarak.
Selanjutnya, kedua kelompok grup facebook tersebut mengoordinasikan sebuah protes besar-besaran dengan sebutan ‘Revolusi Pemuda’ pada 25 Januari 2011 untuk menentang rezim Mubarak.
Dari dua revolusi negara arab yang telah diceritakan, dan hampir di semua wilayah Arab secara keseluruhan, semua diinisiasi kaum muda.
Namun berbeda dari banyak ilmuwan barat yang mengidentifikasi Arab Spring sebagai gejala ketidakpuasan mereka terhadap sistem politik otoritarianisme, Bradley sebagaimana penulis kutip dari M. Chloe Mulderig (2013). memandangnya akibat bencana ekonomi.
Temuannya menarik. Dia mengatakan, “sebagian besar pengunjuk rasa tidak tahu apa-apa tentang ideologi politik.
Mereka dibawa ke jalan, bukan oleh keinginan yang membara untuk pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi oleh situasi ekonomi yang mengerikan di mana mereka hidup ”(Bradley 2012: 201).
Hasil temuan Bradley ini juga diperkuat oleh M. Chloe Mulderig.