Menurutnya, protes yang tercermin dalam arab spring disebabkan karena negara arab tengah mengalami krisis demografi yang masif.
Angkatan generasi muda yang besar dimana rata-rata pemuda arab di bawah 24 tahun menguasasi setengah populasi negara arab secara keseluruhan, tidak diimbangi oleh pemenuhan hak-hak dasar mereka.
Mereka frustasi dengan kondisi yang mereka hadapi. Sulitnya akses terhadap pekerjaan yang layak, kualitas pendidikan yang menjajikan, serta angka pernikahan anak muda yang tertunda sebab ongkos pernikahan mahal, berkontribusi dalam menggerakan masa untuk bangkit dan turun ke jalan.
Hal ini dapat dilihat dari peserta aski yang dominan rata-rata berumur belia 15-24 tahun.
Peritiwa Arab Spring telah terjadi sembilan tahun silam dan kini, romansa perlawanan tersebut muncul kembali di Asia.
Yang menarik dan menjadi pembeda dari peristiwa Arab Spring dengan Asia Spring adalah sistem politik dan kondisi materiil yang menjadi cikal bakal perlawanan masa.
Perjuangan Arab Spring ditujukan untuk melawan penguasa otoriter di tengah kondisi non-demokrasi, ekonomi yang sulit dan kebebasan pendapat yang ditutup rapat.
Sementara perjuangan Asia Spring bertendensi sebaliknya: ditujukan melawan pemimpin demokratis yang berlaku sewenang-wenang dengan inisiasi penerbitan beragam undang-undang yang membatasi ruang sipil bersuara sehingga menyebabkan terjadinya kemerosotan nilai-nilai demokrasi.
Asia Spring dimulai dari protes Hong Kong pada bulan Maret 2019.
Protes ini sebagaimana dilansir dari laporan yang ditulis oleh Sarah Cook dan Annie Boyajian (2019) adalah terkait amandemen ektradisi hukum yang memungkinkan warga Hong Kong, warga asing, dan pengunjung yang berkedudukan di Hong Kong untuk diadili di pengadilan tinggi Cina.
Meski Hong Kong merupakan bagian dari Cina, tapi secara politik dan hukum, Hongkong mempunyai sistem sendiri yang independen.
Karenanya dikenal istilah satu negara dua sistem yang akan berlaku hingga 2047.
Satu hal yang membuat orang-orang Hong Kong menolak undang-undang ini (berdasarkan laporan tersebut) lantaran ketakutan mereka akan adanya proses hukum yang tertutup bila hal itu dilakukan di Cina.
Namun demikian, isu ini kemudian meluas ke berbagai aspek seperti kemorosotan demokrasi, pelanggaran HAM serta kekerasan yang dilakukan pihak polisi saat protes terjadi.
Bahkan rumor yang beredar menyebutkan ada sekelompok mafia yang digunakan pemerintah untuk melawan dan menyerang para demonstran.
Berdasarkan data dari Freedom House, sejak tahun 2009 hingga 2019, indeks demokrasi Hong Kong turun drastis dari skor 68 menuju 59.
Sebagian besar disebabkan otonomi Hong Kong yang mulai berkurang setelah integrasi mereka dengan Cina.
Belum lagi peristiwa Hong Kong selesai, gelora perlawanan merembet ke Indonesia.
Meski tidak ada keterkaitan isu yang mencolok mengenai protes masa di antara kedua wilayah asia ini, sebagaimana itu terjadi dalam Arab Spring; yang sama-sama mengusung tuntuntan ekonomi dan perubahan rezim.
Namun protes masa di Hongk Kong dan Indonesia menghadirkan ikhwal perlawanan yang sama, yakni ketidakpuasan terhadap Rancangan Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah dan legislatif mereka.
RUU ini berimplikasi pada impunitas kebebasan publik.
Pada kasus Indonesia hal itu termanifestasikan dalam RUU KUHP dan RUU kontroversi lainnya.
Uniknya, peristiwa protes publik yang hampir berdekatan dan sama-sama tengah mengalami degradasi demokrasi ini membangkitkan rasa solidaritas di antara mereka.
Hal ini tampak dari dukungan publik Hongkong terhadap perjuangan rakyat di Indonesia. Seorang warga Hongkong mentweet “Hong Kong is Standing With Indonesia” lengkap dengan tagar #929GlobalAntiTotalitarianism (CNN Indonesia, 30/09/2019).
Di Indonesia, protes masyarakat diawali oleh keputusan Presiden dengan disahkannya RUU KPK menjadi undang-undang.
Sebagai satu-satunya institusi yang dipercaya masyarakat pasca reformasi, sontak keputusan itu menimbulkan kekecewaan.
Masa tidak terima bila di tengah kondisi demokrasi yang masih dikuasai para oligarki dan perilaku elit yang korup, KPK diberangus.
Selang beberapa hari, dalam perjalanan UU KPK yang masih mendapat penolakan, RUU KUHP bersama RUU kontroversi lainnya; RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba muncul.
Ini menyulut kemarahan lebih besar dari berbagai elemen masyarakat: pelajar, mahasiswa, dan buruh kemudian bersatu melawan isu yang sama.
Dari revolusi Arab Spring ke protes Asia Spring, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik oleh pemerintah Indonesia di masa yang akan datang.
Pertama, gejala otoritarianisme lewat penerbitan beragam UU yang membatasi hak publik berbicara akan membahayakan masa depan demokrasi.
Upaya pemberedelan ini akan membawa kita jauh ke belakang. Kita tidak mengharapkan rezim tiran baru pasca soeharto muncul.
Sebetulnya bukan hanya RUU KUHP yang membatasi kebebasan publik berekspresi, ada juga UU ITE yang beberapa tahun lalu telah disahkan dan seringkali dijuluki UU berpasal karet.
Sebab elastisitasnya berbahaya bila digunakan penguasa untuk kepentingan tertentu; menangkap para aktivis, memenjarakan lawan politik, serta mempersempit ruang kritik publik.
Kebebasan berpendapat penting dalam negara demokrasi sebab ia membuka ruang adanya proses check and balance yang memungkinkan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengawasi pemerintah.
Pada akhirnya kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim pemerintahan yang baik serta kondusif sebab pemerintah tidak akan berlaku semaunya karena akan selalu merasa diawasi.
Kedua, pemerintah harus peka terhadap tuntutan rakyat sebab pemerintah hanyalah wayang dari kekuasaan rakyat yang lebih tinggi.
Karenanya segala apapun tuntuntan rakyat, bila eskalasi masa protes mengandung implikasi risiko yang lebih besar, maka tidak ada kata lain bagi pemerintah untuk mengalah dan tunduk terhadap tuntutan tersebut.
Sepahit apapun suara rakyat bagi pemerintah, ia adalah sumber legitimasi paling krusial dalam alam demokrasi.
Keputusan Jokowi untuk bertahan dengan tidak mengeluarkan perppu bagi UU KPK beberapa waktu lalu mencerminkan ketidakberpihakannya terhadap suara mayoritas dan berseberangan dengan aspirasi rakyat kebanyakan.
Dalam kasus ini, banyak kalangan menduga Jokowi disandera oleh kepentingan partai politik yang lebih besar.
Fakta ini bisa dilihat saat Jokowi mulai mempertimbangkan opsi untuk mengeluarkan Perppu namun alih-alih langkah ini mendapat dukungan partainya, PDI-P, sebaliknya, komentar keras keluar dari sekretaris fraksi.
Sepintas, secara politik, hal ini sedikit menjelaskan kepada kita betapa tidak efektifnya kepemimpinan Jokowi di mata partainya sendiri.
Ketidakefektifan ini disebabkan pertama, karena Jokowi tidak memegang kendali partai, dan kedua, sebab terlalu mengakarnya cengkraman oligarki di berbagai tubuh partai koalisi yang mendukungnya.
Faktor pertama cukup membuat Jokowi dilematis.