Di samping itu, ketiga, pelajaran lainnya yang dapat kita petik dari berbagai pengalaman aksi di seluruh dunia adalah perlunya menghadapi aksi demonstrasi dengan bijak.
Di tengah keterbukaan informasi lewat berbagai kanal internet yang semakin canggih, pemerintah harus hati-hati dan tidak represif dalam menghadapi segala bentuk unjuk rasa.
Sedikit saja tindakan represif diperlihatkan, akan mengundang gelombang kemarahan yang lebih besar.
Sebab itu, satu-satunya formula paling tepat dalam menghadapi masa aksi adalah dengan mengedepankan dialog bersama.
Pemerintah harus turun tangan menemui dan berdialog dengan masa aksi.
Kericuhan kadang kala timbul sebab mereka merasa diacuhkan karena tidak adanya satu pun wakil dari pemerintah yang menemui mereka. Bertemu langsung dengan peserta aksi di lokasi demontrasi akan menurunkan tensi masa.
Keempat, Indonesia harus selalu siap mengantisipasi bonus demografi usia produktif di masa sekarang dan yang akan datang.
Kasus revolusi arab yang banyak diprakarsai oleh generasi muda muncul karena keprihatinan serta ketidakpuasan mereka terhadap kondisi ekonomi yang mereka alami.
Kekecewaan ini kemudian berimpak pada revolusi total di segala aspek. Hal yang sama bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia.
Gelagat ini sudah cukup tersaji lewat gerakan para pelajar STM yang terlibat turun ke jalan. Diakui atau tidak, keterlibatan anak-anak STM melalui gerakan aksi telah meningkatkan kesadaran politik mereka.
Gerakan-gerakan perlawanan akan terus berlanjut di masa yang akan datang dengan jumlah yang lebih besar bila pemerintah gagal untuk menyediakan saluran serta akses yang layak bagi hak-hak dasar mereka.
Mengingat berdasarkan laporan Bappenas (2017) bahwa bonus demografi kita akan mencapai ledakan besar pada periode tahu 2030-2040 dengan penduduk usia produktif mencapai 64 persen dari total penduduk keseluruhan.
Artinya angka ini mengandung dua makna. Pertama, bila dikelola secara baik, angka demografi ini akan menjadi bonus nyata sebagai penopang ekonomi negara. Kedua, bila salah kelola, demografi yang besar ini akan menjadi petaka.
Kelima, perlunya reformasi partai politik. Atau setidaknya Indonesia butuh partai alternatif.
Maraknya RUU kontroversial yang lahir yang menimbulkan beragam aksi masa tidak terlepas dari perilaku elit yang tuli terhadap ragam aspirasi.
Partai tidak memproduksi kader-kader berkualitas.
Keberadaan PSI sebagai partai baru pun akan sulit bila tidak didukung oleh keberadaan partai lain yang sejalan. Alih-alih menjadi revisionis penantang, ia malah tersandera jeratan status quo.
Karenanya, sepanjang reformasi berdiri, persoalan demokrasi kita tidak juga beranjak naik. Kita masih saja dibayangi oleh perilaku dewan yang malas serta elit yang korup.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Transparency International pada 2018, indeks korupsi kita masih di angka 38 dengan peringkat negara ke 89 dari 180 negara.
Hal ini tentu menyimpan segudang tanda tanya mengapa selama reformasi, korupsi kita tak kunjung berakhir dan dewan kita tidak kunjung menunjukan profesionalitas.
Salah satu sumber persoalan inti adalah eksistensi partai yang hanya dimiliki oleh segelintir oligarki.
Partai tak lagi penting sebagai wadah dan penyalur aspirasi. Ia kerap mewujudkan dirinya tak lebih dari institusi pemburu rente semata.
Reformasi boleh berganti, namun tokoh politik di dalamnya tetap merupakan wajah-wajah lama yang menghiasi dinamika politik orde baru di masa lalu.
Para oligarki ini, selepas reformasi, mereka tidak lagi berkecimpung di satu partai, melainkan menyebar di segala penjuru.
Makanya, di era reformasi ini kita melihat perilaku partai yang hampir sama; pragmatis, korup, insignifikan.
Karena itu, untuk mendorong munculnya partai alternatif, perlu adanya revisi terhadap UU Partai Politik yang dinilai memberatkan pendirian partai baru melalui berbagai persyaratan yang membutuhkan ongkos yang mahal.
Dari persyaratan yang tertuang, UU Parpol kita didesain bukan untuk membuka ruang aspirasi yang lebih luas melainkan tidak lain hanyalah pagar yang menjaga status quo partai lama dari kompetitor baru yang lebih progresif.
Zaman telah berubah, generasi baru telah datang, Bung!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.