Salin Artikel

Dari Arab Spring Menuju Asia Spring, Pelajaran bagi Indonesia

17  DESEMBER 2010, seperti diceritakan oleh Middle East Monitor, adalah hari yang tak terlupakan bagi rakyat Tunisia.

Mohammed Bouazizi, sosok pemuda Tunisia yang dikenal ramah, secara mengejutkan menjadi martir yang mampu menggerakan demonstrasi besar besaran di kota Sidi Bouzid.

Bouazizi merupakan seorang penjual sayur dan buah kaki lima yang kerap menjajakan dagangannya di jalanan kota Sidi Bouzid.

Sehari-hari ia hidup bersama ibu, paman, serta adik-adiknya. Ayahnya telah meninggal saat ia berumur 3 tahun.

Kehidupannya sebagai pedagang kaki lima ia dedikasikan untuk menghidupi keluarganya, utamanya untuk membantu biaya kuliah adiknya. Ia sendiri telah meninggalkan bangku sekolah sejak masa remaja.

Di kalangan kerabat, Bouzizi dikenal sebagai individu yang baik. Meski dirinya berada dalam kondisi sulit, ia kerap menyumbangkan buah dan sayur kepada fakir miskin.

Namun sebaliknya, ia malah kerap menjadi korban kebrutalan dan pelecehan polisi setempat.

Suatu waktu dan ini menjadi peristiwa paling inti dari masa-masa revolusi arab selanjutnya, dirinya ditampar, diludahi, dan disita peralatan timbang dagangnya oleh seorang polisi wanita bernama Faida Hamdy.

Pelecehan ini tidak membuatnya gentar. Ia meminta balik timbangan tersebut dengan mendatangi langsung kantor pemerintah kota.

Permintaannya ditolak. Bahkan gubernur setempat enggan menemuinya.

Jejak Awal Revolusi

Situasi ekonomi yang buruk, sistem politik yang korup, serta rezim otoriter memang telah membulatkan tekadnya untuk menjadi simbol perlawanan.

Satu jam setelah Gubernur Kota menolak menemuinya, Bouzizi selanjutnya pergi meninggalkan kantor namun datang kembali lengkap membawa bensin dan korek api.

Ia berdiri tepat di tengah jalanan depan kantor gubernur yang ramai. Sembari menyiram tubuhnya dengan bensin, dirinya berteriak di tengah kerumunan.

“Bagaimana Anda mengharapkan saya mencari nafkah?” seketika itu juga dirinya terbakar.

Dengan menderita hampir 90 persen luka bakar di sekujur tubuh, dan setelah koma selama 18 hari, Bouzizi akhirnya meninggal pada 4 Januari 2011.

Berita soal heroisme Bouzizi yang gigih mempertahankan haknya berjualan dan mencari nafkah tersebar di seluruh negeri. Kabar itu membangkitkan tekad rakyat Tunisia untuk bangkit melawan dan membalaskan dendamnya.

Sebanyak 5000 orang hadir saat upacara pemakamannya.

Peristiwa ini telah menyulut aksi protes maha besar dan berhasil mendepak Presiden Zine El Abidine Ben Ali dari kursi nyamannya sebagai presiden Tunisia selama 23 tahun.

Selang beberapa waktu kemudian, proses demokratisasi di Tunisia menjalar ke seantero negeri arab lainnya: Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya, Yaman, Suriah dan Yordania.

Peristiwa ini kelak dikenal dengan sebutan “Arab Spring”.

Asal-usul istilah Arab Spring

Istilah arab Spring sendiri berasal dari proses sejarah politik yang panjang.

Ia merujuk pada pergolakan gelombang demokratisasi yang pernah terjadi di dunia pada beberapa dekade sebelumnya, khususnya gelombang revolusi yang terjadi pada negara-negara Eropa Tengah dan Barat pada tahun 1848.

Revolusi eropa 1848 dikenal dengan istilah The Spring of Nations atau Springtime of the People. Revolusi ini bermula di Kota Sisilia, Italia, kemudian meluas ke Perancis, Jerman, Austria, dan hampir seluruh negara eropa.

Kata spring (musim semi) sendiri secara politik erat kaitannya dengan harapan liberalisasi dan mengacu pada rasa optimisme terciptanya transformasi politik (Zimmer, 2011, The "Arab Spring" Has Sprung).

Arab Spring di Mesir

Seperti di Tunisia, demonstrasi di negara-negara arab lainnya juga telah melahirkan para aktor revolusi baru dengan dominasi gerakan pemuda.

Di Mesir, sebagaimana dikutip dari catatan Asiem El Difroui (2012), gerakan revolusi muncul pertama kali dari sebuah grup facebook yang digalang anak muda.

Penggerak utamanya yakni kelompok grup facebook yang menamakan dirinya “Gerakan Pemuda 6 April”.

Kelompok ini berisikan para kaum terpelajar, kelas menengah dan kelompok politik oposisi pemerintah ‘Kifayah’.

Gerakan ini menjadi penginisiasi awal terjadinya protes.

Disebut Gerakan 6 April sebab untuk mengenang kembali peristiwa penindasan berdarah yang pernah dialami sekelompok buruh tekstil di kota Nile Delta pada tahun 2008.

Selain itu, gerakan revolusi Mesir juga diprakarsai oleh grup facebook yang menamai dirinya “We Are All Khaled”.

Grup ini mencoba menarik simpati publik atas kematian Khaled, salah seorang blogger Mesir yang mati terbunuh dipukuli polisi Mesir secara sadis di sebuah kafe pada 2010.

Foto mayatnya disebarluaskan di kanal-kanal internet. Sebetulnya pengorganisasian serta protes ini telah muncul sebelum arab spring meletus.

Kematian Bouzizi di Tunisia menciptakan momentum penentu.

Puncak dari revolusi di Mesir terjadi setelah Wael Ghonim, seorang kepala pemasaran Google di Timur Tengah dan Afrika Utara ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Hosni Mubarak.

Selanjutnya, kedua kelompok grup facebook tersebut mengoordinasikan sebuah protes besar-besaran dengan sebutan ‘Revolusi Pemuda’ pada 25 Januari 2011 untuk menentang rezim Mubarak.

Masalah ekonomi, bukan politik

Dari dua revolusi negara arab yang telah diceritakan, dan hampir di semua wilayah Arab secara keseluruhan, semua diinisiasi kaum muda.

Namun berbeda dari banyak ilmuwan barat yang mengidentifikasi Arab Spring sebagai gejala ketidakpuasan mereka terhadap sistem politik otoritarianisme, Bradley sebagaimana penulis kutip dari M. Chloe Mulderig (2013). memandangnya akibat bencana ekonomi.

Temuannya menarik. Dia mengatakan, “sebagian besar pengunjuk rasa tidak tahu apa-apa tentang ideologi politik.

Mereka dibawa ke jalan, bukan oleh keinginan yang membara untuk pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi oleh situasi ekonomi yang mengerikan di mana mereka hidup ”(Bradley 2012: 201).

Hasil temuan Bradley ini juga diperkuat oleh M. Chloe Mulderig.

Menurutnya, protes yang tercermin dalam arab spring disebabkan karena negara arab tengah mengalami krisis demografi yang masif.

Angkatan generasi muda yang besar dimana rata-rata pemuda arab di bawah 24 tahun menguasasi setengah populasi negara arab secara keseluruhan, tidak diimbangi oleh pemenuhan hak-hak dasar mereka.

Mereka frustasi dengan kondisi yang mereka hadapi. Sulitnya akses terhadap pekerjaan yang layak, kualitas pendidikan yang menjajikan, serta angka pernikahan anak muda yang tertunda sebab ongkos pernikahan mahal, berkontribusi dalam menggerakan masa untuk bangkit dan turun ke jalan.

Hal ini dapat dilihat dari peserta aski yang dominan rata-rata berumur belia 15-24 tahun.

Menuju Asia Spring

Peritiwa Arab Spring telah terjadi sembilan tahun silam dan kini, romansa perlawanan tersebut muncul kembali di Asia.

Yang menarik dan menjadi pembeda dari peristiwa Arab Spring dengan Asia Spring adalah sistem politik dan kondisi materiil yang menjadi cikal bakal perlawanan masa.

Perjuangan Arab Spring ditujukan untuk melawan penguasa otoriter di tengah kondisi non-demokrasi, ekonomi yang sulit dan kebebasan pendapat yang ditutup rapat.

Sementara perjuangan Asia Spring bertendensi sebaliknya: ditujukan melawan pemimpin demokratis yang berlaku sewenang-wenang dengan inisiasi penerbitan beragam undang-undang yang membatasi ruang sipil bersuara sehingga menyebabkan terjadinya kemerosotan nilai-nilai demokrasi.

Dimulai dari Hong Kong

Asia Spring dimulai dari protes Hong Kong pada bulan Maret 2019.

Protes ini sebagaimana dilansir dari laporan yang ditulis oleh Sarah Cook dan Annie Boyajian (2019) adalah terkait amandemen ektradisi hukum yang memungkinkan warga Hong Kong, warga asing, dan pengunjung yang berkedudukan di Hong Kong untuk diadili di pengadilan tinggi Cina.

Meski Hong Kong merupakan bagian dari Cina, tapi secara politik dan hukum, Hongkong mempunyai sistem sendiri yang independen.

Karenanya dikenal istilah satu negara dua sistem yang akan berlaku hingga 2047.

Satu hal yang membuat orang-orang Hong Kong menolak undang-undang ini (berdasarkan laporan tersebut) lantaran ketakutan mereka akan adanya proses hukum yang tertutup bila hal itu dilakukan di Cina.

Namun demikian, isu ini kemudian meluas ke berbagai aspek seperti kemorosotan demokrasi, pelanggaran HAM serta kekerasan yang dilakukan pihak polisi saat protes terjadi.

Bahkan rumor yang beredar menyebutkan ada sekelompok mafia yang digunakan pemerintah untuk melawan dan menyerang para demonstran.

Berdasarkan data dari Freedom House, sejak tahun 2009 hingga 2019, indeks demokrasi Hong Kong turun drastis dari skor 68 menuju 59.

Sebagian besar disebabkan otonomi Hong Kong yang mulai berkurang setelah integrasi mereka dengan Cina.

Belum lagi peristiwa Hong Kong selesai, gelora perlawanan merembet ke Indonesia.

Meski tidak ada keterkaitan isu yang mencolok mengenai protes masa di antara kedua wilayah asia ini, sebagaimana itu terjadi dalam Arab Spring; yang sama-sama mengusung tuntuntan ekonomi dan perubahan rezim.

Namun protes masa di Hongk Kong dan Indonesia menghadirkan ikhwal perlawanan yang sama, yakni ketidakpuasan terhadap Rancangan Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah dan legislatif mereka.

RUU ini berimplikasi pada impunitas kebebasan publik.

Pada kasus Indonesia hal itu termanifestasikan dalam RUU KUHP dan RUU kontroversi lainnya.

Uniknya, peristiwa protes publik yang hampir berdekatan dan sama-sama tengah mengalami degradasi demokrasi ini membangkitkan rasa solidaritas di antara mereka.

Hal ini tampak dari dukungan publik Hongkong terhadap perjuangan rakyat di Indonesia. Seorang warga Hongkong mentweet “Hong Kong is Standing With Indonesia” lengkap dengan tagar #929GlobalAntiTotalitarianism (CNN Indonesia, 30/09/2019).

Protes di Indonesia

Di Indonesia, protes masyarakat diawali oleh keputusan Presiden dengan disahkannya RUU KPK menjadi undang-undang.

Sebagai satu-satunya institusi yang dipercaya masyarakat pasca reformasi, sontak keputusan itu menimbulkan kekecewaan.

Masa tidak terima bila di tengah kondisi demokrasi yang masih dikuasai para oligarki dan perilaku elit yang korup, KPK diberangus.

Selang beberapa hari, dalam perjalanan UU KPK yang masih mendapat penolakan, RUU KUHP bersama RUU kontroversi lainnya; RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba muncul.

Ini menyulut kemarahan lebih besar dari berbagai elemen masyarakat: pelajar, mahasiswa, dan buruh kemudian bersatu melawan isu yang sama.

Pelajaran Bagi Indonesia

Dari revolusi Arab Spring ke protes Asia Spring, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik oleh pemerintah Indonesia di masa yang akan datang.

Pertama, gejala otoritarianisme lewat penerbitan beragam UU yang membatasi hak publik berbicara akan membahayakan masa depan demokrasi.

Upaya pemberedelan ini akan membawa kita jauh ke belakang. Kita tidak mengharapkan rezim tiran baru pasca soeharto muncul.

Sebetulnya bukan hanya RUU KUHP yang membatasi kebebasan publik berekspresi, ada juga UU ITE yang beberapa tahun lalu telah disahkan dan seringkali dijuluki UU berpasal karet.

Sebab elastisitasnya berbahaya bila digunakan penguasa untuk kepentingan tertentu; menangkap para aktivis, memenjarakan lawan politik, serta mempersempit ruang kritik publik.

Kebebasan berpendapat penting dalam negara demokrasi sebab ia membuka ruang adanya proses check and balance yang memungkinkan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengawasi pemerintah.

Pada akhirnya kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim pemerintahan yang baik serta kondusif sebab pemerintah tidak akan berlaku semaunya karena akan selalu merasa diawasi.

Kedua, pemerintah harus peka terhadap tuntutan rakyat sebab pemerintah hanyalah wayang dari kekuasaan rakyat yang lebih tinggi.

Karenanya segala apapun tuntuntan rakyat, bila eskalasi masa protes mengandung implikasi risiko yang lebih besar, maka tidak ada kata lain bagi pemerintah untuk mengalah dan tunduk terhadap tuntutan tersebut.

Sepahit apapun suara rakyat bagi pemerintah, ia adalah sumber legitimasi paling krusial dalam alam demokrasi.

Keputusan Jokowi untuk bertahan dengan tidak mengeluarkan perppu bagi UU KPK beberapa waktu lalu mencerminkan ketidakberpihakannya terhadap suara mayoritas dan berseberangan dengan aspirasi rakyat kebanyakan.

Dalam kasus ini, banyak kalangan menduga Jokowi disandera oleh kepentingan partai politik yang lebih besar.

Fakta ini bisa dilihat saat Jokowi mulai mempertimbangkan opsi untuk mengeluarkan Perppu namun alih-alih langkah ini mendapat dukungan partainya, PDI-P, sebaliknya, komentar keras keluar dari sekretaris fraksi.

Sepintas, secara politik, hal ini sedikit menjelaskan kepada kita betapa tidak efektifnya kepemimpinan Jokowi di mata partainya sendiri.

Ketidakefektifan ini disebabkan pertama, karena Jokowi tidak memegang kendali partai, dan kedua, sebab terlalu mengakarnya cengkraman oligarki di berbagai tubuh partai koalisi yang mendukungnya.

Faktor pertama cukup membuat Jokowi dilematis.

Di samping itu, ketiga, pelajaran lainnya yang dapat kita petik dari berbagai pengalaman aksi di seluruh dunia adalah perlunya menghadapi aksi demonstrasi dengan bijak.

Di tengah keterbukaan informasi lewat berbagai kanal internet yang semakin canggih, pemerintah harus hati-hati dan tidak represif dalam menghadapi segala bentuk unjuk rasa.

Sedikit saja tindakan represif diperlihatkan, akan mengundang gelombang kemarahan yang lebih besar.

Sebab itu, satu-satunya formula paling tepat dalam menghadapi masa aksi adalah dengan mengedepankan dialog bersama.

Pemerintah harus turun tangan menemui dan berdialog dengan masa aksi.

Kericuhan kadang kala timbul sebab mereka merasa diacuhkan karena tidak adanya satu pun wakil dari pemerintah yang menemui mereka. Bertemu langsung dengan peserta aksi di lokasi demontrasi akan menurunkan tensi masa.

Keempat, Indonesia harus selalu siap mengantisipasi bonus demografi usia produktif di masa sekarang dan yang akan datang.

Kasus revolusi arab yang banyak diprakarsai oleh generasi muda muncul karena keprihatinan serta ketidakpuasan mereka terhadap kondisi ekonomi yang mereka alami.

Kekecewaan ini kemudian berimpak pada revolusi total di segala aspek. Hal yang sama bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia.

Gelagat ini sudah cukup tersaji lewat gerakan para pelajar STM yang terlibat turun ke jalan. Diakui atau tidak, keterlibatan anak-anak STM melalui gerakan aksi telah meningkatkan kesadaran politik mereka.

Gerakan-gerakan perlawanan akan terus berlanjut di masa yang akan datang dengan jumlah yang lebih besar bila pemerintah gagal untuk menyediakan saluran serta akses yang layak bagi hak-hak dasar mereka.

Mengingat berdasarkan laporan Bappenas (2017) bahwa bonus demografi kita akan mencapai ledakan besar pada periode tahu 2030-2040 dengan penduduk usia produktif mencapai 64 persen dari total penduduk keseluruhan.

Artinya angka ini mengandung dua makna. Pertama, bila dikelola secara baik, angka demografi ini akan menjadi bonus nyata sebagai penopang ekonomi negara. Kedua, bila salah kelola, demografi yang besar ini akan menjadi petaka.

Kelima, perlunya reformasi partai politik. Atau setidaknya Indonesia butuh partai alternatif.

Maraknya RUU kontroversial yang lahir yang menimbulkan beragam aksi masa tidak terlepas dari perilaku elit yang tuli terhadap ragam aspirasi.

Partai tidak memproduksi kader-kader berkualitas.

Keberadaan PSI sebagai partai baru pun akan sulit bila tidak didukung oleh keberadaan partai lain yang sejalan. Alih-alih menjadi revisionis penantang, ia malah tersandera jeratan status quo.

Karenanya, sepanjang reformasi berdiri, persoalan demokrasi kita tidak juga beranjak naik. Kita masih saja dibayangi oleh perilaku dewan yang malas serta elit yang korup.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Transparency International pada 2018, indeks korupsi kita masih di angka 38 dengan peringkat negara ke 89 dari 180 negara.

Hal ini tentu menyimpan segudang tanda tanya mengapa selama reformasi, korupsi kita tak kunjung berakhir dan dewan kita tidak kunjung menunjukan profesionalitas.

Salah satu sumber persoalan inti adalah eksistensi partai yang hanya dimiliki oleh segelintir oligarki.

Partai tak lagi penting sebagai wadah dan penyalur aspirasi. Ia kerap mewujudkan dirinya tak lebih dari institusi pemburu rente semata.

Reformasi boleh berganti, namun tokoh politik di dalamnya tetap merupakan wajah-wajah lama yang menghiasi dinamika politik orde baru di masa lalu.

Para oligarki ini, selepas reformasi, mereka tidak lagi berkecimpung di satu partai, melainkan menyebar di segala penjuru.

Makanya, di era reformasi ini kita melihat perilaku partai yang hampir sama; pragmatis, korup, insignifikan.

Karena itu, untuk mendorong munculnya partai alternatif, perlu adanya revisi terhadap UU Partai Politik yang dinilai memberatkan pendirian partai baru melalui berbagai persyaratan yang membutuhkan ongkos yang mahal.

Dari persyaratan yang tertuang, UU Parpol kita didesain bukan untuk membuka ruang aspirasi yang lebih luas melainkan tidak lain hanyalah pagar yang menjaga status quo partai lama dari kompetitor baru yang lebih progresif.

Zaman telah berubah, generasi baru telah datang, Bung!

https://nasional.kompas.com/read/2019/10/02/15572871/dari-arab-spring-menuju-asia-spring-pelajaran-bagi-indonesia

Terkini Lainnya

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Nasional
Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Nasional
Selain 2 Oknum Lion Air,  Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Selain 2 Oknum Lion Air, Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Nasional
Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Nasional
Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Nasional
Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Nasional
Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Nasional
Terima Kunjungan Menlu Wang Yi, Prabowo Bahas Kerja Sama Pendidikan dan Latihan Militer RI-China

Terima Kunjungan Menlu Wang Yi, Prabowo Bahas Kerja Sama Pendidikan dan Latihan Militer RI-China

Nasional
Banyak Pihak jadi Amicus Curiae MK, Pakar Sebut karena Masyarakat Alami Ketidakadilan

Banyak Pihak jadi Amicus Curiae MK, Pakar Sebut karena Masyarakat Alami Ketidakadilan

Nasional
Alasan Hasto soal Jokowi Datang ke Anak Ranting PDI-P Dulu sebelum Bertemu Megawati

Alasan Hasto soal Jokowi Datang ke Anak Ranting PDI-P Dulu sebelum Bertemu Megawati

Nasional
Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Nasional
Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak 'Online'

Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak "Online"

Nasional
Ketum Projo Nilai 'Amicus Curiae' Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Ketum Projo Nilai "Amicus Curiae" Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke