Sementara itu, pasal penghinaan pemerintah yang sah juga sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007.
Baca juga: 4 Perubahan Signifikan di RKUHP
Erasmus mengatakan, ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen atau pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa.
Menurut dia, pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda.
"Dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka," tutur Erasmus.
Pidana Terhadap Proses Peradilan
Ketentuan tindak pidana terhadap proses peradilan juga tidak luput dari sorotan. Erasmus menilai pasal ini berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan pers.
"Masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court khususnya Pasal 281 memuat rumusan karet berpotensi mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers," ujar Erasmus.
Baca juga: Hal Baru di RKUHP, Hormati Hukum Adat hingga Hakim Bisa Memberi Maaf
Pasal 281 huruf c draf terbaru RKUHP menyatakan, setiap orang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Menurut Erasmus, pada intinya, pasal tersebut melarang setiap orang dilarang mengkritik putusan hakim terkait integritas.
Baca juga: Pemerintah Serahkan Draf RKUHP ke DPR 26 Agustus Mendatang
Selain itu, pasal tersebut juga dinilai mengancam setiap orang yang ingin mengkampanyekan kasus-kasus bermasalah.
Sebab hal itu dapat dianggap sebagai upaya untuk memengaruhi putusan dalam suatu kasus.
"Pasal 281 RKUHP ini absurd, intinya kita tidak boleh mengkritik hakim dan putusan hakim soal integritas dan sifat tidak memihak hakim. Enggak boleh juga mempublikasikan apapun yang mempengaruhi hakim. Enggak boleh kampanye untuk kasus-kasus bermasalah," kata Erasmus.
Living Law dan Perda Diskriminatif
Ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law dalam RKUHP dinilai berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi. Sebab, menurut Erasmus, ketentuan living law dalam pasal 2 RKUHP tidak diatur secara jelas.
"Tidak jelas antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat rentan menimbulkan overkriminalisasi," kata Erasmus.
Baca juga: Agar Tak Tumpang Tindih, UU ITE dan RKUHP Diminta Sejalan
Pasal 2 ayat (1) RKUHP pada intinya menyatakan KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Kemudian, pasal 2 ayat (2) menyebut hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Erasmus berpendapat, substansi pasal yang tidak jelas dan ketat akan memunculkan Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif.
Di sisi lain, aparat penegak hukum nantinya juga dapat mendefinisikan hukum yang hidup di masyarakat berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan yang jelas.
"Akan ada paling tidak 514 KUHP lokal tanpa kejelasan mekanisme evaluasi yang diatur dalam Perda sehingga berpotensi memunculkan Perda diskriminatif," kata Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.