Permasalahan lain yang tak kalah penting adalah pasal makar.
Menurut Erasmus pendefinisian kata makar tidak sesuai dengan asal kata dalam hukum pidana Belanda, "aanslag", yang artinya serangan.
"Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu aanslag, yang artinya serangan," ucap Erasmus.
Baca juga: Pasal Living Law Dalam RKUHP Dinilai Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif
Tindak pidana makar dalam draf terbaru RKUHP diatur dalam tiga pasal yakni, makar terhadap presiden dan wakil presiden, makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan makar terhadap pemerintah yang sah.
Pasal 191 menyatakan, setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Baca juga: RKUHP Dinilai Definisikan Makar Jadi Pasal Karet
Kemudian, pasal 192 mengatakan, setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Pasal 193 menyatakan, setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara, pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Erasmus berpendapat, ketiga pasal tersebut cenderung mendefinisikan makar secara multitafsir. Akibatnya ketentuan pidana itu menjadi pasal yang bersifat karet.
Baca juga: Penerapan Hukuman Mati pada RKUHP Tuai Kritik
Artinya, tidak menutup kemungkinan pasal tersebut dapat digunakan di luar kepentingan penegakan hukum.
Ketentuan makar yang bersifat karet itu berpotensi disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
"RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat," kata Erasmus.
Pasal Warisan Kolonial
Erasmus mengkritik adanya ketentuan pasal-pasal bersifat kolonial dalam RKUHP.
Beberapa ketentuan pasal kolonial yang dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip negara demokratis adalah pasal penghinaan terhadap presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
Baca juga: DPR Jadwalkan Pengesahan RKUHP pada 24 September 2019
"Ketentuan ini (pasal penghinaan presiden) pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial," ujar Erasmus.
Erasmus mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum.
Beberapa ketentuan pasal kolonial yang dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip negara demokratis adalah pasal penghinaan terhadap presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
"Ketentuan ini (pasal penghinaan presiden) pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial," ujar Erasmus.
Erasmus mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum.
Baca juga: Ketentuan yang Dipertahankan di RKUHP, Termasuk Hukuman Mati dan Penghinaan Presiden
Pasal itu dianggap dapat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi serta prinsip kepastian hukum.
"Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi," kata Erasmus.