Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Kabinet Jokowi, Oposisi, dan Demokrasi

Kompas.com - 11/07/2019, 09:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASCA-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Sandi dalam sengketa perselisihan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) terdapat tugas maha berat dari Pasangan Capres/Cawapres Jokowidodo/KH Ma’ruf Amin untuk membentuk kabinet presidensialnya.

Menjadi berat karena koalisi partai pendukung Presiden Jokowi (Kolisi Indonesia Kerja) mencapai sekitar 10 partai (terlepas ada yang tidak lolos pileg nasional).

Kondisi demikian niscaya menjadi beban pemikiran Presiden dan Wakil Presiden kelak usai dilantik untuk bagaimana membagi adil dan bisa diterima semua pihak ketika parpol pendukung mendesak (baik vulgar maupun halus) diakomodasi di kabinet.

Belum lagi tekanan untuk rekonsiliasi dengan pihak Prabowo-Sandi. Ada sinyal dari partai kubu sebelah untuk juga berharap jatah kursi menteri.  Sinyal itu setidaknya terlihat kuat dari PAN dan Partai Demokrat.

Di luar itu, Presiden Jokowi perlu memikirkan pula estafet kepemimpinan dengan memberikan alokasi kursi menteri bagi kalangan muda-milenial.

Secara konstitusional, pasca-reformasi, Indonesia menganut sistem presidensial. Hal ini nampak dari bangunan sistem ketatanegaraan yang didesain.

Pertama, mendekonstruksi kelembagaan MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara biasa setara dengan DPR, DPD, Presiden, MK dan BPK.

Kedua, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Maka, presiden dan wakil presiden tidak dapat dijatuhkan seperti dulu atas landasan pelanggaran haluan negara (GBHN salah satunya).

Presiden hanya dapat diberhentikan bila melakukan pelanggaran hukum dan itu pun melalui mekanisme diperiksa terlebih dahulu oleh MK atas pendapat DPR yang menduga terjadi pelanggaran hukum.

Ketiga, presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sebaliknya pun, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Semua diatur di UUD 1945 seperti di Pasal 1 ayat (1), (2), (3), Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 17.

Meski demikian, sistem pemerintahan presidensial kita tidak sepenuhnya autentik. Ada beberapa basis inkonsisten. Seperti pada ketentuan di satu sisi presiden mengangkat dan memberhentikan menteri (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945) sebagai bentuk hak prerogatif Presiden.

Namun di sisi lain, Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Kementerian Negara membatasi jumlah kementerian, paling banyak 34 kementerian.

Demikian pula timbul ketidak laziman dalam sistem presidensial Indonesia karena dibasiskan pada multi partai.

Padahal, menurut Scott Mainwaring,(1990:2), sangat sukar terbentuk pemerintahan stabil di sistem presidensial jika berbasis multi partai dan koalisi partai.

Ini terjadi pada fenomena tersanderanya Presiden SBY-JK pada masa pemerintahannya dalam tekanan partai politik yang menjadi koalisinya.

Hal serupa juga tampak pada periode Presiden Jokowi-JK dengan bongkar pasang kabinet. Sampai terbawa istilah “petugas partai” dalam diskursus pengamatan politik kontemporer kita.

Tulisan ini hendak melacak berbagai isu dan pemikiran yang perlu ditimbang dalam menyelamatkan sistem presidensial dan demokrasi secara kompatibel.

Pertaruhan kabinet

Sebuah pesan kritis dikirim oleh Nurliah Nurdin dan Saafroedin Bahar dalam buku Sarah Nuraini Siregar (editor), Sistem Presidensial Dari Soekarno ke Jokowi, (2018: 467) soal Presiden Jokowi.

Menurutnya, tantangan terberat Jokowi dalam membentuk kabinet adalah ia harus bisa “menjawab gejolak ekspektasi masyarakat dengan tetap berpegang pendekatan populisnya.

Dia harus memiliki keberanian untuk bertindak sebagai presiden. Kalau tidak, ia akan merusak kepercayaan publik yang ia nikmati yang membuatnya menjadi presiden terpilih”. Lebih buruk lagi, demokrasi Indonesia hanya akan  menguntungkan elite semata.

Ada beberapa catatan menyangkut pembentukan kabinet.  

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Nasional
Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Nasional
Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Nasional
Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Nasional
Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Nasional
Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Nasional
Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Nasional
Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Nasional
Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Nasional
Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Nasional
Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Nasional
Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com